Lihat ke Halaman Asli

Nastiti Cahyono

karyawan swasta

Bersyukur untuk Negara Besar dan Indah

Diperbarui: 23 November 2022   11:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

tinemu

Pasca pandemic Covid 19 kita menghadapi berbagai tantangan. Mulai dari ancaman resesi ekonomi, sampai pada ketidakstabilan geopolitik. Kita tahu perang antara Rusia dan Ukrania belum juga usai.

Di tengah-tengah itu, satu narasi yang menawarkan system khilafah muncul di tengah-tengah kita. Para pendukung system itu berkilah bahwa kekhilafahan adalah solusi persoalan kebangsaan dan persoalan global. Mereka selalu menyebut bahwa system itu terbaik karena di masa lalu system itu pernah masyur di bawah kekhalifahan Utsmani.

Jika mau jujur dibalik sejarah kekhilafahan yang menurut beberapa pihak adalah puncak keagungan Islam, tidak hanya menyimpan cerita suka dan kemegahan, tapi juga tragedy dan kehancuran. Kita tahu kekhilafahan tidak semata soal agama, tapi juga soal keutamaan kesukuan yang sangat tidak cocok dengan Indonesia.

Kita bisa belajar dari sejarah bahwa para pendukung konsep kekhiafahan cenderung bersifat puritan, merasa benar sendiri dan menyalahkan orang lain. Ini pasti akan mengganggu kerukunan antar warga di Indonesia yang sangat beragam.

Bagi saya sendiri sebagai umat Islam, kekhilafahan sebenarnya bukan solusi. Apalagi di Indonesia, system ini bukan pemersatu namun justru akan menimbulkan polarisasi. Jika kekhilafahan diterapkan di Indonesia maka tidak semua bagian di negara ini yang setuju. Negara kita punya Bali yang mayoritas beragama Hindu, NTT yang mayoritas beragama Katolik, Papua dan Sulawesi Utara yang mayoritas beragama Kristen Protestan dan beberapa wilayah lain dalam skup kecil yang non muslim.

Tentu ini akan menimbulkan persoalan sendiri, karena masing-masing wilayah itu dalam sejarah juga mengambil peran penting dalam mewujudkan negara Indonesia. Kita tahu dalam Sumpah Pemuda ada Jong Ambon, Jong Java, Jong Celebes (Sulawesi), Jong Sumatra dll. Mereka bekerja keras untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia yang saat itu masih dicengkeram oleh penjajah. Puncaknya adalah beberapa pemuda yang "menculik " Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengas Dengklok untuk mendesak dua orang itu unruk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Diantara para pemuda itu ada yang berdasar Tionghoa yang rumahnya dibuat tempat beristirahat oleh bung Karno. Tidak semua wilayah akan menerima system itu.

Nah, jika satu pihak atau beberapa pihak memaksakan kekhilafahan, sama saja tidak menghargai sejarah dan lebih luas lagi, tanda bahwa kita tidak bersyukur. Kita diberi negara yang luas dan indah ini dan sudah diperjuangkan dengan darah dan air mata, namun harus mengecil (sempit) karena system kekhilafahan.

Karena itu mungkin kita harus bersyukur atas anugerah yang diberikan oleh Tuhan untuk kita dan negara kita. Negara berdaulat, kekayaan alam, kekayaan budaya dan luasnya geografi adalah hal luarbiasa yang harus kita manfaatkan dengan baik, dan bukan dengan kekhilafahan yang terbukti tidak cocok dengan negara kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline