Ada satu pernyataan yang menarik dari walikota Bekasi Rahmat Effendi kemarin. Seperti dilansir di kompas.com, walikota mengatakan, "Bekasi adalah kota yang heterogen, tentunya memiliki daya tarik tersendiri. Laju pertumbuhan Bekasi pun menjadi cukup baik. Keberagaman dan kearifan lokal adalah aset untuk membangun suatu daerah," kata Rahmat, dalam sebuah forum di Kongres Nasional Kebebasan beragama dan Berkeyakinan.
Pernyataan ini dilontarkan Rahmat, menyusul masih adanya praktekn intoleransi di Bekasi. Bahkan, dalam suatu ketika ada desakan dari kelompok tertentu, untuk mencabut ijin mendirikan bangunan (IMB) Gereja Katolik Santa Clara. "Saya menolak dengan tegas saat itu. Saya bilang di depan mereka, lebih baik kepala saya ditembak daripada saya harus mencabut IMB gereja itu. IMB itu sudah sesuai dengan hukum yang berlaku," ucap Rahmat.
Sudah semestinya, pemimpin daerah seperti yang ditunjukkan oleh Ramat Effendi. Seorang pemimpin harus bisa memastikan, hak warganya dalam beragama dan berkeyakinan bisa terjamin. Setiap kota atau daerah, harus menjadi daerah yang toleran dan damai. Tidak ada agama mayoritas ataupun minoritas. Meski Islam merupakan agama yang terbesar, namun agama lain juga mempunyai hak yang sama. Mempunyai hak yang sama untuk memeluk dan beribadah, sesuai keyakinannya.
Seperti kita tahu, meski Indonesia sangat mengedepankan toleransi, bibit intoleransi terus bermunculan dan sengaja disebarkan oleh kelompok radikal. Tidak hanya Bekasi, daerah-daerah lain juga masih saja terjadi. Bahkan, jemaat gereja Yasmin yang ada di Bogor, Jawa Barat, juga masih belum bisa melaksanakan ibadah di gereja mereka. Tidak jarang mereka beribadah di depan istana negara, sebagai protes kepada negara, agar menjamin hak setiap warga negara untuk memeluk dan beribadah secara tenang.
Saat ini, berbagai cara terus dilakukan oleh kelompok radikal untuk melakukan propaganda. Mereka selalu membawa agama, untuk meyakinkan kepada semua orang. Isu SARA selalu dibawa-bawa untuk memecah belah negeri ini. Sloga anti ini anti itu sering kita temukan di media sosial. Bahkan, dalam kontestasi pilkada pun, isu agama juga dibawa-bawa untuk mempengaruhi hak pilih masyarakat. Sunggu sudah tidak masuk dinalar. Agama dan politik jelas tidak ada hubungannya. Sudah semestinya, masyarakat bisa bebas menentukan hak pilihnya. Sebagaimana pula hak masyarakat untuk bebas beribadah dan berkeyakinan.
Sekali lagi, ketegasan seorang pemimpin diperlukan untuk memastikan hak setiap warganya. Hal ini penting, karena radikalisme dan intoleransi terus merebak. Wahid Foundation mengingatkan, Indonesia masih rawan terhadap radikalisme dan intoleransi. Dalam survei yang dirilis pertengahan 2016 yang lalu menunjukkan, 7,7 persen masyarakat Indonesia bersedia melakukan tindakan radikal jika ada kesempatan. Jika dilihat dari persentase memang kecil, namun jika dijumlahkan, diperkirakan 7,7 persen itu setara dengan 11 juta orang. Artinya, dari 150 juta umat muslim yang ada di Indonesia, 11 juta diantaranya diperkirakan bersedia melakukan tindakan radikal dan intoleran. Karena itulah, jangan beri ruang bagi radikalisme dan intoleransi untuk terus berkembang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H