Mempunyai lingkungan yang bersih, bebas dari kotoran dan sampah, tentu menjadi keinginan kita bersama. Selain bisa membuat udara segara, dengan tidak adanya kotoran akan membuat lingkungan tersebut menjadi sehat. Begitu juga mempunyai lingkungan yang toleran, bebas dari pemahaman kekerasan, juga akan membuat lingkungan kita lebih toleran. Tidak ada kebencian apalagi kekerasan antar sesama. Karena semua warganya bisa hidup berdampingan, rukun, tidak saling menyalahkan.
Disisi lain, suka tidak suka paham radikalisme keagamaan sudah menyusup dan sengaja disusupkan ke dalam masyarakat. Untuk apa? Agar paham ini bisa berkembang di tengah masyarakat yang kebetulan mayoritas muslim. Ketika sudah tumbuh subur, pemahaman radikalisme ini akan membuat seseorang merasa dirinya paling benar. Ketika sudah pada tahap ini, mereka akan mudah di provokasi paham-paham yang mengarah pada terorisme.
Sebut saja opini yang berkembang paska kematian pimpinan majelis mujahidin Indonesia Timur, Santoso. Teroris kelas wahid yang meninggal di tangan Satgas Tinombala ini, disebutkan mati dalam kondisi syahid. Anggapan ini terus menghiasi media sosial dan sebagian masyarakat. Suka tidak suka, anggapan syahid itu masih ada di masyarakat kita. Artinya, masih ada pemahaman yang salah di masyarakat. Pertanyaan sederhana, bagaimana logikanya ketika semasa hidupnya sering membunuh orang, menebar kebencian, meninggalnya dikatakan syahid?
Sebagian orang menilai, anggapan syahid yang berkembang ini hanyalah merupakan upaya untuk menarik simpati publik. Ketika masih ada simpati, paham radikal yang salah ini masih bisa tumbuh subur. Ibaratnya, jika tanaman itu ditanam di tanah yang subur, maka akan bisa terus membesar dan subur. Sebaliknya, jika ditanam di tanah yang gersang, tanaman akan kering dan tidak bisa membesar. Paham radikalisme juga seperti itu. Mari kita ciptakan lingkungan yang ‘gersang’ untuk paham kekerasan. Bagaimana caranya?
Memperkuat keimanan, memperbanyak amal dan berbuat baik antar sesama, akan membuat paham radikal sulit berkembang. Kondisi ini akan mengeringkan paham yang suka melakukan kekerasan ini. Memperbanyak perbuatan baik serta selalu menebarkan kedamaian, juga akan membuat lingkungan kita tercemar dari paham-paham yang bisa mengotori kerukunan yang telah terjalin. Jika kita tidak nyaman dengan banyaknya sampah di rumah kita, semestinya kita juga tergerak untuk membersihkan lingkungan dari paham radikalisme.
Ingat, suda banyak generasi muda kita, yang terjerumus ke dalam kelompok radikal. Mereka banyak yang menjadi korban, karena iming-iming yang tidak masuk akal. Apa itu contohnya? Adanya kesalahpahaman dalam mengartikan jihad dan syahid itu tadi. Jihad yang seharusnya dimakna sebagai upaya perang melawan diri sendiri, perang dalam mengendalikan hawa nafsu, justru diartikan sebagai perang melawan saudara yang tidak seiman. Nah..apa yang salah dengan orang lain yang memeluk keyakinan lain? Bukankah semua agama itu mengajarkan kedamaian? Bukankah keberadaan agama-agama lain itu sudah ada sejak dulu?
Karena itulah, mari gunakan akal dan pikiran kita. Jangan mau terjerumus atau dijerumuskan, kedalam pemahaman yang salah. Mari kita tetap terus menjaga toleransi antar umat, agar lingkungan kita bisa terbebas dari paham radikalisme. Jika kita bisa kompak melakukan ini, kita tidak hanya membuat lingkungan menjadi damai, tapi juga bisa menyelematkan generasi penerus dari kehancuran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H