Lihat ke Halaman Asli

Kegembiraan Pilpresku Dihancurkan Kampanye Hitam Legam

Diperbarui: 18 Juni 2015   07:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jika anda pernah menonton Jakjazz, maka anda akan disuguhi dengan pilihan untuk menonton satu panggung dari beberapa panggung yang tersedia. Jika anda fanatik pada salah satu panggung, misalnya musisi dalam negeri, maka anda tak hendak menuju panggung lainnya. Dan itu jamak terjadi pada arena Jakjazz. Tidak ada paksaan bagi anda untuk memilih salah satu panggung. Semua yang hadir bisa memiliki pemusik jazz favorit masing-masing tanpa perlu merasa takut mengganggu selera orang lain. Yah...selera. Sesuatu yang sangat pribadi sekali dan tak layak dicampuri intervensi oleh siapapun termasuk - untuk ekstrimnya - kekuatan Ilahi.

Mengenai selera, maka yang bisa merasakannya hanyalah indera kita seorang. Misalnya - untuk musik - kurang greget, pas harmoninya, performance vokalis kurang atraktif. tata suara kurang memadai dan cenderung sember, dan lain sebagainya. Seseorang berhak menilainya dan mengeluarkan seribu macam alasan subyektif untuk itu. Dan itulah selera yang sejati yaitu selera yang muncul karena kita menghargai adanya kemampuan diri kita untuk menilai kelebihan dan kekurangan seorang pemusik dalam mengeluarkan kemampuannya bermusik. Selera ini menjadi sah milik kita walaupun dalam tataran amatiran karena kita hanya menikmatinya dan bukan menjadikannya sebagai profesi.

Mereka yang berani berkecimpung dalam profesi sebagai pemusik patut diacungi jempol karena mereka dengan bebas merdeka mengekspresikan dan mengeksplor kemampuannya dan mempersembahkan hasil karyanya ke depan publik. Giliran selanjutnya maka publik memberikan penilaiannya yang sangat tergantung selera masing-masing. Pada tahap kesukaan, seseorang menyampaikan apresiasi dan tidak segan-segan membeli karya pemusik yang disukainya. Di sisi lain, mereka yang kurang berselera boleh menapakkan kakinya menuju panggung yang lain tanpa perlu memberikan penilaian vulgar akan ketidaksukaannya terhadap pemusik yang tidak disukainya.

Apakah kondisi tersebut bisa dianalogikan ke ranah politik?

Sangat relatif dan INI POLITIK BUNG dan bukan masalah PERASAAN!!!

Pemilihan Umum yang sejatinya merupakan pesta, seharusnya dapat dianalogikan dengan pemilihan panggung yang kita minati layaknya menonton Jakjazz dengan kegembiraan dan penuh harapan menuju kepuasan di masa mendatang. Kesukaan kita pada calon yang kita pilih menempatkan kita pada satu panggung dan tidak akan berpaling ke panggung yang lain. Minimal untuk pertunjukan malam itu. Karena suasana hati mungkin bisa berubah seiring perjalanan waktu dan dimungkinkan memilih panggung yang lain. Yang kemudian menjadi permasalahan adalah ketika akan beranjak menapaki panggung selanjutnya terdengarlah gunjingan-gunjingan, kecaman bahkan ancaman yang sama sekali tidak berdasarkan fakta sebagaimana yang diri kita rasakan. Maka pada saat itulah pesta yang kita inginkan berubah menjadi horor tak berkesudahan karena mendadak kita menempatkan diri pada posisi bertahan dari serangan yang mungkin tiba-tiba menghampiri.

Pada pilpres kali ini, saya termasuk orang yang sangat berharap adanya kegembiraan karena akan muncul pemimpin baru negara menggantikan incumbent. Saya sangat berharap akan adanya kampanye menampilkan daya kreasi dan munculnya ide-ide brilian untuk kemajuan negara dan bangsa. Di tengah asyiknya persiapan diri menyambut kampanye kreatif yang menghibur hati, seketika itu pula disuguhi dengan mendung gelap dengan petir dan gluduk menggelegar yang bukan berasal dari kekuatan Ilahi namun menyambar-nyambar tak diketahui asalnya. Dalam pandangan saya, mungkin mahluk astral - seperti tontonan salah satu stasiun tv - sedang berkarya. Karena sampai detik ini tidak ada satupun yang secara jantan mengakui membuatnya. Semuanya saling melempar petir dan gluduk. Namun anehnya, walaupun tidak ada yang mau mengakui membuatnya, banyak yang percaya kalau konten petir dan gluduk itu benar adanya. Memakai logika ini, maka saya berkesimpulan bahwa memang kekuatan Jahat tengah berkarya pada ajang pilpres kali ini.

Dalam pandangan saya sebagai penikmat musik jazz yang sangat suka dengan kreativitas para musisinya yang mampu menciptakan harmoni dashyat dengan melodi-melodi keluar pakem, menjadi sangat beralasan untuk merasa telah didepak dari kegembiraan mengikuti proses pilpres ini. Mengapa kekuatan jahat dibiarkan meraja di tengah kegembiraan ini? Mengapa kekuatan jahat dibiarkan berkeliaran di tengah kesukacitaan pilpres ini? dan sejuta pertanyaan lain yang intinya mempertanyakan kemanusiaan pihak-pihak yang memberikan jalan bagi munculnya kekuatan jahat menghancurkan suasana kegembiraan batin saya.  Mungkin anda juga korbannya?

Perasaan seseorang yang menyenangi musik tentu tidak mudah terdikte dengan konten petir dan gluduk yang menyambar untuk memilih suatu panggung. Karena selera yang telah terbentuk dari indera tidak dapat dibohongi. Dalam alam pikir saya untuk mendapatkan panggung yang saya inginkan maka saya akan memerdekakan pikiran saya sebagaimana saya memberi kebebasan bagi diri saya untuk menentukan mana yang akan saya pilih. Dengan terus terang saya akan memilih yang tidak menciptakan konten petir dan gluduk. Karena ternyata sang penciptanya telah menyebabkan keuntungan bagi pemilik panggung yang lain. Naifnya lagi adalah panggung lain merasa tidak melakukannya dan berdalih bahwa memang panggung yang saya pilih tidak mampu menawarkan bargaining yang bagus.  Untuk menggambarkannya cukup dengan mengingat satu peribahasa ini : Lempar Baru Sembunyi Tangan.

Berbagai dalih boleh mengemuka menyambut konten petir dan gluduk. Namun faktanya kekuatan jahat amat mengganggu kemanusiaan saya dengan menyabotase keinginan saya untuk bergembira. Kalau dalam ranah agama mungkin saya boleh mengutuk kekuatan jahat itu. Namun bagi saya mungkin hal itu tidak layak saya utarakan. Karena siapakah saya ini yang berani menilai orang lain padahal tidak mengenalnya? Satu hal yang pasti yaitu SAYA INGIN MERASAKAN KEGEMBIRAAN PESTA PILPRES LAYAKNYA MENYAMBUT KELAHIRAN ANAK KESAYANGAN. Salahkah saya berharap seperti ini? Apakah saya masih manusia kalau saya berharap seperti ini?

Pesan saya bagi kekuatan jahat yang berwujud manusia, marilah memberi kegembiran bagi semua. Jauhkan pikiran tradisional anda yang senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang. Ingat, kemenangan masif kubu anda pun tidak akan pernah memunculkan apresiasi bagi orang-orang yang telah anda ganggu kegembiraannya karena cara-cara demikian sungguh menghina kemanusiaan.  Marilah kembali ke rel kompetisi yang sebenarnya. Kalau memang tidak ada yang dapat ditonjolkan, lebih baik mengakuinya secara berterus terang tanpa perlu menyerang membabi buta yang membuat kemarahan orang-orang berakal sehat. Masih banyak hal-hal positif yang dapat anda tawarkan. Hanya dibutuhkan keberanian untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasinya. Simpan sajalah konten petir dan gluduk anda untuk anda sendiri. Karena pikiran orang beriman - kalau anda beriman - pasti tidak akan mau menyeret orang ke neraka. Sudah terlalu banyak penghuni neraka. Janganlah mengajak orang beriman ke neraka. Cukup anda sendiri saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline