Jakarta, kota megapolitas sekaligus Ibukota Indonesia yang telah lama menjadi wajah Indonesia bagi masyarakat dunia.
Kenangan terahir menginjak dan bergumul dengan Jakarta adalah ketika melaksanakan Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Universitas Negeri Jakarta pada tahun 2019 yang lalu.
Selama 2 bulan mengikuti pendidikan tersebut, rasanya sangat akrab dengan suara bising kendaraan bermotor dan bergonta-ganti trasportasi umum untuk melakukan rutinitas.
Namun yang tak pernah hilang dari ingatan adalah ketika "tak melihat langit biru", setiap pagi ketika akan berangkat ke kampus saya selalu melihat kabut putih yang menyelubungi langit Jakarta.
Saya kira itu benar-benar kabut putih, namun ketika siang hari keluar dari kampus, kabut putih itu tak juga hilang.
Baru saya sadari itu bukan kabut namun polutan yang dihasilkan dari trasportasi, pabrik dan aktivitas masyarakat lainnya yang menghasilkan asap polusi.
Hal itu selain membuat suasana tidak nyaman juga menambah panas lingkungan sekitar, sehingga waktu itu ingin segera kembali ke kampung dan kembali melihat langit biru dan kabut yang bukan kabut-kabutan.
Hari ini bahkan Jakarta kembali dinobatkan sebagai kota berpulutan ke dua di dunia berdasarkan data per pukul 09.00 WIB di laman IQAir.
Peringkat kedua tersebut berada di bawah Kuwait dan di atas Dubai, Uni Emirat Arab dimana masing-masing indeks kualitas udara di kedua negera tersebut adalah 164 dan 156.
Sedangkan IQAir menetapkan Indeks Kualitas Udara Jakarta menembus angka 158, dengan polutan utama 2.5 M serta nilai kosentrasi 70 mikrogram per meter kubik.