Sebut saja Mbah Setu, salah satu orang yang tinggal di kebun saudara kami.
Perawakanya kecil, rambutnya hitam keputihan dengan badan tak terlampau tinggi, pas untuk ukuran orang Indonesia.
Mbah Setu memang sudah memutuskan untuk tinggal di kebun yang kanan - kirinya masih dihuni hutan dan perkebunan sawit.
Beliau memang sebatangkara, tak lagi punya keluarga. Dulu sebelum memutuskan tinggal di kebun, beliau memiliki sebuah rumah sederhana di desa, namun rumah itu kini telah rubuh.
Karena dekat dengan keluarga kami dan kami memiliki pondok, akhirnya beliau lngin menetap di kebun. Aktifitas keseharian Mbah Setu adalah merumput, memelihara kambing, membersihkan kebun dan sebagai pekerja serabutan.
Kegiatan itu dijalani Mbah Setu setiap hari dengan rasa iklas dan penuh kesyukuran. Setiap beberapa minggu sekali juga sering pergi ke desa untuk sekedar membeli kebutuhan untuk memasak, mencuci dan mandi.
Setiap ke kebun dan bila waktu pulang tak terlalu sore, biasanya selalu mampir untuk sekedar mengobrol.
Memang pondok yang ditempati Mbah Setu sangat sederhana, tak ada kompor untuk memasak kecuali tungku dengan bahan bakar kayu.
Oh iya, beberapa hari sekali Mbah Setu selalu mencari kayu bakar sebagai alat untuk memasak beliau. Lalu untuk kebutuhan listrik? Memang listrik belum masuk ke area kebun yang ditempati Mbah Setu.
Hal itu karena letak kebun yang ditempati Mbah Setu jauh dari pemukiman dan masih semi hutan sehingga akses litstrik belum bisa masuk.
Maka Mbah Setu bila malam tiba sering menggunak sentir (lampu minyak) untuk menerangi sekitar tempat tidurnya.