Lihat ke Halaman Asli

Bro NuKe 누기쌤

"Jadilah Pemimpin yang Melahirkan Pemimpin Mandiri" - Youth Leader

Edukasi Mental

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Istilah edukasi atau pendidikan nampaknya menjadi latah bagi sebagian orang. Saking latahnya tidak elak kata ini menjadi biasa dan kehilangan makna bahkan digunakan sembarangan. Persoalannya bahwa negeri ini yang semakin maju dari sisi teknologi maupun pendidikan justru berbanding terbalik dengan kedewasaan mental anak mudanya. Sebuah refleksi pada hari Senin, 15 Desember 2014 dalam perjalanan sore di Jakarta herannya saya bertemu dengan beberapa peristiwa. Pertama ada seorang anak muda tanpa kaki sebelah kiri memakai tongkat dengan mandiri masuk ke sebuah busway dan duduk disana. Kedua, saya melihat di tempat yang berbeda seorang wanita muda membawa tas ransel cukup besar berjalan tanpa tujuan sambil tertawa dan tersenyum sendiri bahkan sambil berbicara sendiri sekalipun disana tidak ada handphone atau sesuatu yang lain. Nampaknya, dia juga belum mandi sekian hari karena pada waktu mendekati saya dalam perjalanan tersebut bau yang tidak sedap terasa.

Sebelumnya kita perlu kembali redefinisi apa itu edukasi mental? Mental sendiri yang dimaksud disini adalah kemampuan diri seseorang mengatasi masalah, sedangkan edukasi merupakan sebuah pembudayaan atau pembiasaan dimana seseorang tahu dan sanggup melakukan apa yang diajarkan. Untuk itu, edukasi mental merupakan pembudayaan seseorang dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi (problem solving).

Untuk itulah, tidak heran jika kita sejak kecil sudah diajarkan dengan berbagai ilmu pengetahuan yang dipikirnya tidak bermanfaat bagi kita suatu saat nanti tetapi justru sebenarnya kekeliruan pemahaman ini ada di dua belah pihak. Pertama, pihak institusi pendidikan terkhusus guru mampu menjelaskan dengan baik kenapa ada sejumlah pelajaran itu perlu diberikan. Kedua, pihak anak  hanya melihat sebatas dirinya dan cita-citanya sehingga berpikir belajar yang penting sesuai dengan keinginan saja. Ketiga, pihak orang tua yang justru sebaliknya meminta anak mampu belajar ini dan itu sehingga dipikir menjadi anak sibuk dan cerdas.

Kembali ke persoalan edukasi mental maka ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan di Indonesia:

1. Anak muda semakin kreatif tetapi semakin rendah daya juang

Sebagian besar anak muda sekarang nampaknya semakin sadar jiwa kewirausahaannya, sehingga tidak elak mereka berjuang sedari dini untuk dapat mencari uang sendiri. Banyak dibuktikan sejumlah anak muda sedari sekolah atau kuliah sudah berhasil dengan usahanya. Walaupun demikian, tidak sedikit pula mereka yang hendak mencoba hal sama justru gagal dan makin terpuruk. Sekali gagal dalam usaha, studi, ataupun sejenisnya semakin tidak punya semangat dan berjuang. Semangat '45 nenek moyang kita sudah tinggal sejarah dan seolah terlupakan. Jadi kegagalan sekali adalah kegagalan seumur hidup.

2. Mental (daya tahan) atau Mental (terlempar)

Tentu anda tahu bahwa dua kata ini dapat dipakai secara bersamaan dalam dua konteks yang jauh berbeda. Mental dalam artian daya tahan menunjukkan kemampuan seseorang dalam mengatasi masalah dan terus berjuang atas kegagalan untuk meraih kesuksesan. Di sisi lain, mental dalam artian kedua adalah terlempar yang dapat diartikan tidak survive. Ya, anak muda masa kini memang punya mental yang tinggi yakni mental dari peredaran perjuangan bermasyarakat.

3. "Galau" ditinggalkan kekasih

Berapa banyak sekolah atau intitusi pendidikan bukan saja mengajarkan edukasi seks tetapi juga cinta dan berpasangan. Persoalannya banyak anak muda justru belajar akan hal ini dari insting atau melihat senior atau celakanya taruhan teman. Percintaan dimulai dengan sangat cepat dan diakhiri dengan cepat pula. Putus cinta inilah yang sering membuat dan mempopulerkan kata "galau" bagi sejumlah anak muda masa kini. Generasi ini dipenuhi dengan kegalauan dan bad mood yang terlalu sampai-sampai tidak makan, minum, mengurung diri, dan gantung diri akhirnya. Mental seorang anak muda hanya terbatas sampai dengan perasaan patah hati dan setelah itu tidak mampu atau berani mengambil sikap untuk bangkit lagi dengan cara yang objektif bahwa masih begitu banyak manusia lain yang kelak bisa jadi pasangan hidup. Mungkin harap dimaklumi persoalannya adalah sejumlah kegalauan juga dimulai dari keberanian menyerahkan segalanya termasuk virginitas. Tidak heran harta paling berharga yang telah diserahkan ini membuat dirinya tidak tahan lagi menanggung beban.

4. Paradigma negatif adalah mentalitas masa kini

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline