Lihat ke Halaman Asli

Bro NuKe 누기쌤

"Jadilah Pemimpin yang Melahirkan Pemimpin Mandiri" - Youth Leader

Pesan Natal bagi Negeriku Indonesia

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini merupakan hasil refleksi, opini, dan pengalaman sepanjang memasuki awal tahun 2014 dan menjalaninya dengan berbagai macam cerita di dalamnya berdasarkan iman kepercayaan saya. Memasuki pertengahan bulan Desember, artikel ini menjadi persembahan khususnya bagi umat Kristen dan Indonesia.

Natal tentu sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan bagi setiap orang Kristen sebagai pesta rakyatnya gereja-gereja di dunia. Entah memahami maknanya atau tidak sejumlah orang Kristen hampir dipastikan berbondong-bondong terlibat untuk merayakannya bersama sekalipun hari-hari sebelumnya mungkin sangat jarang bahkan tidak pernah beribadah. Inilah event yang dari tahun ke tahun dijalankan dengan sejumlah dana yang tidak kecil digelontorkan untuk menikmati sebuah pesta satu waktu. Persoalannya rutinitas ini masih kah ditangkap dan dipahami sesuai hakikatnya atau sekadar pesta tahunan yang meaningless. Dimanakah tempat Yesus sebagai Tuhan? Berapa banyak jauh lebih pusing dengan masalah tempat, makanan, pendeta siapa yang nanti akan kotbah, acaranya seperti apa biar gak membosankan? Lalu, masih ingat kah Yesus yang turun dari Sorga itu, mati disalibkan, dan bangkit serta akan kembali datang dalam waktu, tempat, kondisi yang tidak pernah terpikirkan manusia?

Ya, tidak terpikirkan umat manusia membuat pesta rakyat orang Kristen ini seolah menjadi perayaan besar yang datang dan pergi begitu saja. Walaupun demikian, saya bersyukur karena natal tahun ini setidaknya jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang saya lewati. Berbeda karena ada moment pemerintahan yang baru, berbeda karena ada gebrakan yang baru, berbeda bahkan karena konflik antar agama menjadi semakin tajam hanya demi kepentingan tertentu. Diperkirakan 2015 menjadi tahun yang sulit dan penuh perjuangan bagi sejumlah kalangan tetapi justru disitulah moment natal bagi saya menjadi semakin menarik dan penuh penghayatan. Keterlibatan saya dengan komunitas HIV/AIDS dan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) menolong saya banyak hal dan wawasan serta sudut pandang yang jauh berbeda dari sebelumnya.

Beberapa refleksi yang paling indah buat saya atas perayaan natal yang sebentar lagi kita rayakan:

1. Natal adalah mengingat Yesus yang datang bagi orang-orang terabaikan dan tersingkir

Tentu bagian ini setiap kita mengamini, tetapi apakah bagian ini teraplikasi. Banyak event natal sekadar dimanfaatkan untuk berbagi kasih dengan baksos tapi so, next apa yang mau dilakukan untuk mereka? Berapa banyak dari kita berani mendekati seorang perempuan pelacur bukan untuk membelinya tetapi melayaninya untuk bertobat? Berapa banyak dari kita sanggup menghadapi preman terminal yang hendak merampok atau memalak kita? Berapa banyak dari kita punya hati bagi mereka yang dianggap sakit mental? Bukankah mereka semua masih mendapat stigma yang sangat negatif, aib, kutukan, harus dijauhi dan tidak sepantasnya ada di dekat kita.  Padahal merekalah yang Tuhan Yesus datangi dan dekati serta layani mereka sampai bertobat tanpa harus underestimate dan menghakimi dengan kata DOSA.

2. Natal adalah mengingat bagaimana Yesus menghadapi orang-orang yang membencinya secara cerdik

Orang Farisi dan ahli taurat mungkin adalah orang yang dikisahkah sepanjang Alkitab Perjanjian Baru sebagai tokoh antagonis cerita. Saking antagonisnya kita sebagai pembaca rasanya ingin mengecam dan jika perlu menarik Yesus dari ejekan dan hinaan mereka. Tapi sama halnya dengan apa yang dilakukan Petrus, benarkah kita memahami pribadi Yesus dengan sungguh atau jangan-jangan pahlawan kesiangan yang bersikap sama juga sebenarnya dengan para Farisi dan ahli taurat ini. Sebagai orang Kristen yang minoritas di Indonesia kita terlalu banyak kali berkeluh kesah dengan berbagai tindakan anarkis dari kelompok tertentu dan sikap-sikap mereka yang mendeskriminasi seperti tidak mengucapkan natal. Anehnya respon yang sama kita tanpa sadar lontarkan bahkan bisa sangat Alkitabiah seperti biarlah Tuhan mengampuni mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat. Bukan kah jika kalimat ini ditelaah lebih lanjut sebenarnya kita sedang seolah jauh lebih rohani, lebih suci, lebih baik dari mereka. Serta merta kalimat itu tidak jarang dilontarkan secara terang-terangan dihadapan mereka dengan harapan supaya orang yang dimaksud memahami kami gak balas kamu dengan dendam tapi dengan kasih loh. Tanpa sadar sebenarnya kita sedang menjadi orang-orang Farisi modern yang seolah mengerti Alkitab tetapi belum mengerti esensi pelayanan Yesus.

Berbeda dengan cara kita, Yesus justru sangat jarang sekali mengutip ayat Alkitab Perjanjian Lama walaupun ada sebagian. Yesus lebih banyak menggunakan analogi berupa perumpamaan dan logic thinking. Perhatikan ketika orang Farisi hendak mencobai Dia dengan seorang perempuan yang baru saja kedapatan berzinah, reaksi yang tidak diduga disampaikan Tuhan Yesus. Orang Farisi tidak pernah mengira apabila Tuhan Yesus kemudian akan menjawab bahwa diantara kamu yang tidak berdosa silahkan melempar batu ke perempuan itu untuk pertama kalinya. Persoalan pajak, anak kecil yang seolah mengganggu, perempuan samaria dan masih banyak kisah lain, Tuhan Yesus menggunakan sudut pandang yang jauh berbeda dengan masyarakat pada umumnya secara cerdik, cerdas dan bertanggung jawab.

3. Natal adalah mengingat bagaimana Yesus sangat menghargai anak kecil yang polos, tidak banyak kritik, dan penuh kerendahan hati untuk belajar

Dari sekian banyak muridnya termasuk 12 murid Tuhan Yesus, justru yang mendapat pujian adalah anak-anak kecil sebagai orang-orang yang empunya Kerajaan Allah. Bukankah anak-anak itu biang keributan, tidak sopan, seenaknya berlarian tetapi justru dalam keadaan seperti inilah mereka tidak jaim. Orang dewasa seiring dengan kecerdasan dan pengalaman hidup yang dilaluinya membuat terdestorsi akan segala kemunafikan dan kejaiman. Rasa hormat pada waktu ibadah cenderung hanya cover yang lahir bukan karena kelahiran baru tetapi prestige sebagai orang rohani, menjadi majelis atau aktifis gereja, dan peran-peran yang lain dalam gereja. Tidak heran jika anak-anak adalah orang-orang yang begitu lentur sebenarnya secara kognitif untuk diajar dan diberikan doktrinasi iman dibanding orang dewasa yang terlalu banyak bertanya "why" atau "how" yang pada akhirnya tidak melakukan aksi apa-apa didalam imannya. Gereja menjadi dipenuhi dengan kritik orang dewasa dan gosip-gosip yang tidak perlu. Tetapi lihat apa yang diobrolkan anak-anak tidak lebih dari permainan, pertemanan, dan family.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline