Saya teringat di masa kuliah membeli buku tentang ilmuwan Fisika Richard Feynman berjudul "Cerdas Jenaka Cara Nobelis Fisika" yang dalam judul aslinya "Surely, You're Joking Mr Feynman!". Di dalam buku itu ada cerita yang kerap saya ceritakan ulang, karena satir dan membuat tertawa (tertawa miris). Kita bisa sangat be-refleksi dengan kisah berikut:
Diceritakan saat Mr.Feynman mengajar di Brazil ia mendapati murid-muridnya sangat cerdas dalam menjawab pertanyaan yang ia ajukan. Tetapi anehnya, bila ia menanyakan ulang subyek yang sama namun dengan bahasa yang berbeda, murid-muridnya tidak bisa menjawab. Mr. Feynman di kemudian hari menyadari bahwa sistem pendidikan di Brazil saat itu berpolakan menghapal ketimbang memahami. Mereka sangat cerdas menjawab bila ditanya: "Bagaimana bunyi teori relativitas Einstein" tapi bila ditanya apa yang menyebabkan waktu menjadi relatif pada kondisi partikel yang bergerak melebihi kecepatan cahaya? Bisa jadi mereka diam tidak menyadari hubungan antara apa yang mereka jawab sebelumnya dengan pertanyaan berikutnya. Apakah ini terdengar familiar?
Saya rasa iya. Karena sistem pendidikan kita pun hingga saat ini tidak jauh berbeda. Perhatikan buku pelajaran anak kita, terkadang orang tua juga bisa ikut pusing melihatnya. Bisa jadi anak kita cerdas dan mendapatkan rangking tinggi di kelas, tapi dia belum tentu sepenuhnya memahami aplikasi dari semua teori yang ia hapalkan atas perintah gurunya.
Apa implikasi ini semua? Menurut saya, ini menjadi salah satu penyebab miskinnya inovasi di generasi kita. Kita bangsa yang cerdas, tapi kita jarang menelurkan penemuan-penemuan baru yang menggegerkan dunia. Kita menjadi bangsa peneliti dengan cara mengcopy paste penelitian sebelumnya yang dilakukan orang di negara lain. Kita bisa mengidentifikasi, menganalisis suatu masalah, tapi kita gagal ketika diminta untuk menciptakan sesuatu yang orisinil.
Saya memang tidak sepenuhnya benar, karena banyak anak bangsa yang jenius dan menelurkan inovasi hebat. Tapi secara umum, saya rasa kita harus mengakui kekurangan kita.
Henry Ford, seorang industriawan besar, bukanlah penemu mobil. Tetapi dia menemukan metode perakitan mobil murah yang merubah wajah automobil dunia setelah itu. Ini ia lakukan dengan penelitian panjang dan teliti dibantu oleh para ilmuwan hebat yang ia pekerjakan. Di Indonesia, mengutip pernyataan Dr. Dimyati, Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan Kemristekdikti, 59% sektor industri tidak pernah bekerjasama dengan peneliti maupun universitas. Sangat disayangkan. Saya tidak tahu, apakah itu dikarenakan mereka memiliki bagian R&D sendiri yang mapan, tapi saya ragu hal ini yang jadi sebabnya.
Kembali kepada Henry Ford dan perusahaannya yang sekarang menjadi salah satu raksasa industri mobil dunia, budaya research atau penelitian menjadi sebuah kepastian. Bahkan ada bab khusus di buku "Henry Ford Critical Evaluations in Business and Management" yang diberi judul: "Research is Back of All Ford Manufacturing" - penelitian menjadi tulang punggung semua proses industri Ford (buku ini bisa dibaca di google book).
Majalah Fortune juga pernah me-list 10 perusahaan raksasa dunia yang mengalokasikan dana terbesar di bidang Research and Development, di antaranya Volkswagen, Samsung, Intel, Microsoft, Toyota dan tak ketinggalan Google.
Karena itu, anjuran pemerintah agar kalangan bisnis dan industri kita untuk lebih berbasis penelitian bukanlah omong kosong bila ingin menjadi perusahaan berskala besar dan berkesinambungan. Bahkan, yang utama adalah keikutsertaan mereka dalam mendanai berbagai penelitian di Indonesia yang memiliki nilai inovasi tinggi dan orisinil.
(bersambung)