Cadar atau dalam bahasa arab disebut khidr dan tsiqab merupakan kain penutup muka atau wajah yang hanya menampakkan mata saja (Suharsih 2016). Cadar juga diidentikkan sebagai wujud busana yang biasanya digunakan oleh para muslimah atau perempuan yang beragama Islam. Namun penggunaan cadar bukan menjadi hal yang wajib maupun umum digunakan oleh muslimah Indonesia. Bahkan penggunaan cadar dikalangan muslimah Indonesia masih menjadi distingsi antara mempertahankan keyakinan hati dan tantangan sosial, sehingga muslimah pengguna cadar cukup struggle untuk hidup di lingkungan sosial yang masih awam dengan cadar. Tantangan yang sering kali dialami oleh muslimah pengguna cadar selalu berkaitan dengan pespektif yang mengarah pada pelabelan pengguna cadar sebagai salah satu bagian dari golongan-golongan agama ekstrimisme. Tantangan ini didorong pada persepsi masyarakat yang salah paham dan terperangkap dengan apa yang ditampilkan media, seperti pada berita-berita tentang terorisme yang menunjukkan cuplikan pakaian yang digunakan oleh teoris dan istrinya yang menggunakan cadar. Selain itu, eksklusivitas Muslimah becadar juga mendorong penghambatan proses sosialisasi karena adanya proses adaptasi dan penerimaan masyarakat yang tidak mudah (Rahayu and Taqwa 2019). Hal inilah yang menjadi salah satu bentuk tantangan sosial yang sering dialami oleh para muslimah pengguna cadar.
Padahal pada hakikatnya penggunaan cadar bagi seorang muslimah merupakan salah satu bentuk cara yang dipilih untuk menutup aurot perempuan. Cadar juga memiliki beberapa manfaat bagi seorang muslimah yang dijelaskan oleh Lidya (2015) seperti menghindari fitnah, melindungi wajah dari debu, kotoran, dan polusi, serta menutup aurot perempuan guna menghindari kejahatan-kejahatan yang bersumber dari tatapan laki-laki. Penggunaan cadar tidaklah menjadi pilihan yang tidak instan bagi seorang muslimah, banyak sekali pertimbangan-pertimbangan yang berkaitan dengan penerimaan diri, keyakinan hati, dan pilihan rasional untuk memantaskan diri sebagai seorang muslimah bercadar. Terkadang proses penggunaan cadar juga tidak mudah untuk dilakukan langsung secara istiqomah, banyak proses-proses untuk belajar menyesuaikan diri dan mempertahankan keyakinan di tengah tantangan-tantangan yang mengguncang keyakinan hati, rasa percaya diri, dan cobaan masalah pribadi yang dihadapi.
Bukan hanya itu saja, tantangan sosial dan distingsi yang selalu lahir dari persepsi masyarakat juga turut mendorong para muslimah bercadar untuk mampu beradaptasi dan membangun branding diri yang bagus agar dapat diterima masyarakat secara perlahan sekaligus menghilangkan distingsi negatif yang selama ini masyarakat yakini. Tantangan tersebut hadir dalam berbagai bentuk seperti bullying, marginalisasi, stigma negative, dan stereotipe (Rahayu, dkk 2023). Salah satu tantangan yang cukup familiar dihadapi oleh muslimah bercadar di Indonesia adalah stigma negative yang mengaitkan cadar dengan kelompok radikalisme dan terorisme. Hal tidak terlepas dari konstruksi media yang banyak menayangkan berita buronan dan penangkapan oknum teroris yang tampilannya identik dengan pakaian jubah, cadar, dan celana cingkrang. Oleh karena itu perspektif masyarakat menjadi mudah terbentuk dan mempercayai bahwa perempuan yang bercadar itu kelompok teroris atau radikal, dan cadar hanya dijadikan sebagai penutup diri karena sifat gerakannya yang harus privasi. Menurut (Rahman and Syafiq 2017) hal ini juga didukung cara berpakaian yang berbeda dengan masyarakat lain sehingga membuat penampilan muslimah menjadi menonjol bukan hanya karena cara berpakaiananya tetapi juga dengan sifat, sikap dan kelakukannya yang sangat tertutup dan bahkan menghindari masayarakat. Padahal anggapan-anggapan itu tidaklah selalu sama dan dilakukan oleh semua muslimah yang bercadar, karena ada juga muslimah bercadar yang aktif menyampaikan konten, ajaran, dan interaksi positif pada masyarakat luas, bahkan merekapun juga lebih bersifat terbuka dan menunjukkan eksistensi dan perannya di ranah virtual maupun publik. Hal ini bisa dilihat dari kalangan selebgram, artis, pemuka agama, tokoh publik yang juga bercadar tetapi kehidupannya tidak tertutup.
Selain itu, hasil wawancara dengan salah satu muslimah yang bercadar menunjukkan jika terdapat perspesi masyarakat yang juga berbentuk beban moral sekaligus refleksi seperti anggapan bahwa perempuan yang bercadar itu lebih mengerti agama, pemahaman pada ilmu agama yang luas, tutur katanya yang halus, serta akhlak yang lebih tinggi dan perangai yang lebih baik diantara perempuan yang lain, sehingga menurut informan hal itulah yang dapat menjadi beban moral bagi para muslimah khususnya yang baru berhijrah dan memulai menggunakan cadar dalam proses hijrahnya. Oleh karena itu, anggapan ini seakan melabeli seorang muslimah bercadar itu pasti perfect dan sempurna, padahal hal itu jelas bersinggungan karena manusia pada dasarnya tidak ada yang sempurna dan perempuan yang bercadar juga masih berusaha untuk belajar, berkembang, dan memperbaiki dirinya. Akan tetapi, beban moral ini juga dapat dijadikan refleksi bagi para muslimah pengguna cadar untuk terus meningkatkan value mereka agar dapat menjadi muslimah yang berakhlak, berkualitas, dan bersahaja.
Maka perlu kita sadari bahwa menjadi seorang muslimah bercadar tidaklah mudah, banyak sekali cobaan diri, gonjangan hati, dan tantangan sosial yang membuat para muslimah bercadar harus struggle untuk mempertahankan keyakinan hati dalam menggunakan cadar. Perlu ditegaskan juga, jika tidak semua muslimah yang tertutup dan bercadar itu termasuk dari golongan radikalisme dan terorisme, karena pada dasarnya prinsip dari manusia itu berbeda-beda bisa saja muslimah bercadar sebagai bentuk menunjukkan eksistensi diri sebagai seorang muslimah atau sebagai bentuk hijrah kearah yang lebih baik. Oleh karena itu, masyarakat perlu memfiltrasi cara pandangnya dalam memaknai penggunaan cadar. Mayarakat juga harus diberikan literasi mengenai ciri-ciri ajaran maupun doktrin kelompok terorisme dan radikalisme sehingga tidak mudah memaknai bahwa pengguna cadar adalah bagian dari kelompok terorisme dan radikalisme. Bahkan jika pelabelan atau stigma negative ini dipertahankan oleh masyarakat jelas ini akan menjadi bagian dari bentuk pengucilan atau bahkan diskriminasi bagi para muslimah pengguna cadar. Karena pada hakikatnya seorang perempuan juga memiliki kebebasan hak untuk memilih atau menggunakan pakaian yang dirasa nyaman sebagai bentuk dari keyakinan hatinya pada apa yang dipilih.
Referensi :
Galuh Putri Rahayu, Ida Tri Widiyaningsih, and Alina Ratna Anjali. 2023. "Realitas Sosial Perempuan Bercadar: Penolakan Dan Penerimaan Di Masyarakat Sumbersari Kabupaten Jember." Jurnal Insan Pendidikan Dan Sosial Humaniora 1 (2): 72--86. https://doi.org/10.59581/jipsoshum-widyakarya.v1i2.218.
Rahayu, Puji, and Ridhah Taqwa. 2019. "Konstruksi Komunitas Kampus Terhadap Mahasiswi Bercadar Di Universitas Sriwijaya Indralaya." Je: Jurnal Empirika 4 (1): 65--80.
Rahman, Alif Fathur, and Muhammad Syafiq. 2017. "Motivasi, Stigma Dan Coping Stigma Pada Perempuan Bercadar." Jurnal Psikologi Teori Dan Terapan 7 (2): 103. https://doi.org/10.26740/jptt.v7n2.p103-115.
Suharsih, Marta. 2016. "MUSLIMAH BERCADAR (STUDI TENTANG PROSES INTERNALISASI DAN ADAPTASI SOSIAL MAHASISWI MUSLIMAH BERCADAR DI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR)," 1--23.
Lidya, D. 2015. "Manfaat menggunakan cadar bagi wanita muslimah." Dalam islam.com diambil dari: http://dalamislam.com/.