Setelah setengah jam mengandalkan google map, akhirnya sampai juga di ruko apotek pertama yang harus kudatangi. Maklum saja, sebagai sales di perusahaan distributor farmasi, aku dituntut harus cakap mencari alamat baru dan rajin mengunjungi apotek-apotek yang berada di wilayah area kerjaku agar selanjutnya lancar memperoleh orderan.
Segera aku memberi salam kepada beberapa karyawan apotek yang berjaga, lalu duduk di kursi tunggu untuk mempersiapkan beberapa daftar produk sebelum menemui pemilik apotek tersebut. Jujur saja, aku merasa sangat gugup. Pasalnya ini adalah kali pertama aku bekerja setelah lulus kuliah sebagai Sarjana Kesehatan Masyarakat. "Enggak pa-pa kerja apa saja dulu buat pengalaman. Yang penting enggak terlalu melenceng dari kuliahmu, kan?" ujar Bude, semalam. Beliau adalah orang yang telah berjasa merawat dan menyekolahkanku selama ini.
Sambil membolak-balik daftar produk obat dari perusahaan, aku mencoba mempelajari keadaan sekitar terlebih dahulu. Di apotek yang kutaksir luasnya sekitar empat kali sepuluh meter ini aku mengamati ketersediaan obat-obatan yang dipajang di beberapa etalase. Tampak dua orang lelaki berpenampilan necis berdiri di hadapanku entah mereka mencari obat apa. Di sebelah tengah, seorang ibu yang menggendong bayi sedang menunjuk ke salah satu botol vitamin. Layaknya ruko pada umumnya, tempat tinggal pemiliknya sepertinya berada di lantai atas. Dan dari ujung tangga belakang, seorang lelaki tua yang terlihat tidak begitu sehat sedang berjalan menuju depan dengan langkah tertatih.
Cukup lama aku memerhatikan kesibukan mereka. Entah kenapa tiba-tiba aku merasakan dejavu. Ingatanku terlempar pada kejadian menyakitkan yang telah menimpa keluargaku beberapa tahun silam.
Waktu umurku delapan tahun, Ayah nekat pergi meninggalkan Mama untuk menikah lagi dengan seorang wanita kaya pengusaha di kota S. Mamaku yang saat itu sedang sakit begitu terpukul merasakan perlakuan Ayah. Hingga akhirnya tak berselang lama dari kejadian itu beliau pun meninggalkanku untuk selamanya.
Sejak saat itu aku sangat membenci Ayah. Aku sempat bersumpah tidak akan pernah meminta bantuan dalam bentuk apapun dan tidak peduli lagi dengan kehidupannya.
Sebelumnya, Ayah juga pernah menyuruhku ke apotek untuk mencari obat yang bisa menghilangkan tanda lahir sebesar telapak tangan di dada kirinya. Pada saat itu belum ada apotek yang menjualnya. Aku tidak menyangka bakal dihajar hingga badanku memar ketika pulang dengan tangan kosong. Sial! Mengingatnya hanya membuatku kembali mengumpat.
"Maaf, Mas sales baru ya? Saya baru lihat soalnya. Bawa produk apa?" Seorang perempuan setengah baya dengan ramah membuyarkan lamunanku. Aku tergeragap sebentar. Sambil tersenyum malu aku lalu menghampiri perempuan itu. Ia tampak berkelas mengenakan blus batik warna krem dan tatanan rambutnya digelung rapi ke belakang.
"Selamat pagi, Bu, perkenalkan saya Adrian Putra, dari PT. Prima Abadi Farma. Saya menawarkan produk suple---"
Brakk! Suara benturan keras terdengar tepat dari arah belakangku. Aku segera berbalik. Ternyata lelaki tua yang tadi berjalan tertatih itu terjatuh begitu saja dan tak sadarkan diri. Seketika keadaan berubah menjadi panik. Beberapa karyawan apotek, termasuk perempuan setengah baya tadi, berlarian dari belakang etalase. Ketika aku berjongkok untuk memeriksa keadaannya, tiba-tiba kedua tanganku bergetar hebat, jantungku seperti berhenti berdetak. Terlihat jelas tanda lahir yang tak mungkin kulupa sebesar telapak tangan di dada kiri lelaki tua itu.[*]