Hingga detik ini Mukti tak pernah bosan meronce bunga melati setiap hari. Rencana akan ia persembahkan untaian melati itu kepada Ratinem di hari pernikahan mereka nanti. Terhitung sudah ada tiga ratus delapan puluh untaian. Anehnya, warna kelopak melati itu senantiasa putih bersih dan harumnya senantiasa semerbak, awet mewangi---sejak mula pertama ia meronce.
Dengan penuh kesabaran Mukti selalu meyakinkan kepada Ratinem bahwa ialah satu-satunya orang yang tepat untuk dijadikan suami. Mukti yakin dan percaya diri, tak ada satupun lelaki di dunia ini---yang bisa memahami kerumitan perempuan itu dalam menyikapi sebuah ikatan pernikahan---selain dirinya.
"Mau sampai kapan kamu meronce kembang itu untukku, Muk? Sudahlah, itu sangat melelahkan. Percuma, sebab aku juga tidak menyukainya," kata Ratinem, pada suatu ketika ia mendapati Mukti datang menghampiri dan membawakan melati itu lagi.
Mukti bergeming seolah-olah tak memedulikan ocehan Ratinem yang terdengar begitu skeptis menilai sebuah ikatan. Mukti menulikan telinganya dan membutakan matanya. Di mata Mukti, hanya bunga melati ini simbol agung cinta kasih yang suci. Niatnya tulus bersama Ratinem. Maka itu tidak patah sekali pun semangat Mukti meronce melati. Akan tetapi bagi Ratinem, untaian melati nan harum semerbak itu tak lebih dari sekadar kalung besi yang kelak hanya akan menambah berat beban langkahnya.
Dalam otak Ratinem ia membayangkan kelak bakal mengurus segala kerepotan Mukti. Melahirkan; merawat dan mendidik anak-anak (yang belum tentu akan tumbuh besar sejalan dengan maunya). Kemudian---masih kata pikiran Ratinem---akan banyak hal keniscayaan konyol yang serupa bom waktu yang sewaktu-waktu siap meledakkan sebuah bangunan pernikahan. Hancur; menyisakan puing-puing; tercerai-berai; menyedihkan!
Ini bukan tanpa alasan, sebab Ratinem telah banyak melihat luka parah pada perempuan-perempuan terkasih yang didapatkan selama pernikahan mereka. Sebutlah ibunya. Masih terbayang dalam ingatan Ratinem bagaimana warna muka ayahnya yang berubah merah padam ketika sering menampari pipi ibunya. Bagaimana perasaannya ketika seorang suami menyiksa batin sang istri, lagi dan lagi, dengan pergi bersama gundik-gundiknya. Berhari-hari, berminggu-minggu, hingga bertahun-tahun. Ratinem masih ingat betul kejadian itu. Ah, nasib ibu yang menyedihkan.
Belum lagi Miranti (kakak perempuan Ratinem satu-satunya), kemudian Menuk (sahabat saat sekolah Ratinem dulu), bernasib sama dengan Ibu Ratinem. Sehingga di matanya, mereka adalah perempuan-perempuan malang yang telah salah mengambil langkah dalam hidup.
"Mengerikan sekali nasib mereka. Sakit!" desis Ratinem.
Belum pernah Ratinem menemukan cerita indah dan baik-baik dari pasangan suami istri selain seperti cerita pernikahan kakek-neneknya. Hanya kisah kakek dan neneknya yang sedikit memberikan gambaran baik tentang sebuah biduk rumah tangga. Entah memang benar begitu atau orang-orang tua itu lihai melerai ledakan-ledakan yang tercipta dalam rumah mereka. Hingga pada akhirnya, Ratinem menjadi hilang tertarik pada sosok lelaki seusianya. Entah belum atau memang akan begitu selamanya.
Hari ini Mukti terus menambah jumlah ronce melatinya. Sedikit berbeda, kali ini isinya ia buat selang-seling dengan melati yang masih kuncup dan yang telah mekar sempurna. Hingga bertambah lagi untaian demi untaian melati yang dikerjakannya dengan sabar dan telaten. Sebenarnya hal ini tidak begitu bisa membangkitkan rasa kagum, sebab tak sulit bagi Mukti menemukan kuncup-kuncup melati itu. Toko kembang milik ayah Mukti bak taman bunga. Pemuda itu hampir tidak pernah menemukan kendala. Oh, pantas saja!
Suatu ketika, Ayah Mukti mengajak putra semata wayangnya mengunjungi makam sang istri. Pria paruh baya pemilik toko kembang yang masih gagah itu berniat mengunjungi makam sambil membawakan satu buket kembang kertas warna merah muda.