Ini adalah tahun kedua aku memiliki seorang kekasih. Hubungan kami pada awalnya baik-baik saja sebelum kawan-kawanku banyak yang jengah melihat gelagat kami yang tidak kunjung bergerak ke arah yang lebih serius. Mereka risih. Kata mereka, di leherku ada seutas tali yang menjulur dan semakin hari semakin panjang dan setiap hari telingaku semakin mirip telinga gajah.
Sebenarnya aku pun bisa melihatnya setiap saat aku becermin, bahkan saat aku mengunyah dan menelan makanan, aku bisa merasakan tali itu semakin menjeratku. Tapi aku menikmatinya.
Tak masalah bagiku. Toh, aku bisa menggulung tali itu agar tidak terlihat menjuntai sehingga kawanku tidak merasa risih lagi. Jadi agak berat memang. Tapi, sekali lagi, aku masih bisa menikmatinya dan mengacuhkan ocehan kawan-kawanku yang kerap menanyakan perihal itu.
Pagi itu, saat aku menghadap jendela kantor, aku mendengar mereka mulai mengoceh lagi. Aku bisa melihat paruh di bawah hidung mereka mulai bergerak-gerak tak beraturan. Kadang cepat, kadang bergerak lambat, mencibir.
"Mau sampai kapan kamu terus-terusan digantung seperti ini, Nad? Lihat, tali di lehermu semakin panjang," kata temanku si A
"Iya, nih, tau si Nadine! Bisa-bisanya betah bawa-bawa tali tambang seperti itu. Nggak berat apa? Ntar kejiret, baru tau rasa, lu!" gerutu si B tepat di depan hidungku, bersamaan dengan asap berwarna hijau melintas di depanku, baunya busuk.
Aku hanya mengibaskan tangan serupa mengusir lalat. Aku bergeming lalu memilih untuk sibuk di depan layar monitor atau menjawab panggilan telepon yang masuk. Ah, sudah biasa ocehan dari paruh mereka--yang berwarna merah, ungu magenta, kadang pink--seperti itu sampai ke telingaku--yang setiap hari ketika aku becermin kulihat ia semakin lebar dan menebal. Aku menikmatinya. Selama kekasihku masih memuji penampilanku (dengan tali tambang yang melingkar di leher dan telingaku yang melebar dan tebal) aku tidak mempermasalahkan. Dia memang duniaku, segalaku ....
"Nadine, saya tahu kawan-kawanmu banyak yang membicarakan hubungan ini di belakang kita, apa kamu tidak kesal?" tanya kekasihku saat itu kami bertemu di taman, sore hari seperti biasa. Aku katakan padanya bahwa semua itu kuanggap angin lalu. Aku tidak mempermasalahkan selama dia mencintaiku dan selalu ada disisiku. Lalu tangan kami saling menggenggam, satu ciuman lembut dia daratkan di atas bibirku.
Dia lalu tersenyum dan tali di leherku kembali memanjang lagi beberapa senti. Dengan sabar aku menggulungnya lagi sembari mendengarkan dia berceloteh tentang masa depan kami. Celotehnya yang mendayu-dayu terdengar seperti sajak dan syair lagu yang membuatku terlena. Iramanya konstan dan lembut namun selalu membuatku yakin untuk terus setia menyimak sajak syair yang dikumandangkannya berulang-ulang. Ah, kekasihku, sungguh aku telah jatuh di hadapanmu.
Kami lalu berjalan. Bergandengan tangan menuju bundaran kolam air mancur di depan kami. Air yang pelan menyembur ke atas dari dasar kolam mengundang burung-burung untuk datang mendekat. Pandanganku terfokus pada air yang menyembur dan burung-burung yang hinggap di tepian kolam.
Aku dan kekasihku mendekati kolam itu. Dan dia mulai lagi mengumandangkan sajak syairnya. Tanpa aku sadari, gulungan tali tambang di leherku terurai lepas. Semakin aku terlena tali itu semakin memanjang ... panjang, dan panjang lagi hingga masuk ke dasar kolam ... lalu akhirnya aku tenggelam. [*]