Sejak kelas dua menengah atas, Nadine dan Rio adalah sepasang kekasih. Hampir semua kawan mereka, guru-guru, bahkan tiang bendera di lapangan sekolah pun tahu akan hal itu. Sosok Rio sebagai salah satu pemain basket andalan sekolah pastilah berbadan tegap dengan tinggi menjulang. Sedangkan Nadine, bagaimana badannya tidak sintal dan padat berisi, jika dia adalah ketua tim cheerleader favorit sekolah mereka. Tentu ditunjang pula oleh wajahnya yang ayu.
Singkatnya, penampakan Nadine dan Rio bagai Romeo dan Juliet---meskipun terkadang mereka masing-masing asyik dengan kegiatannya sendiri--- tetapi seringnya kemana-mana selalu berdua, bak sepasang angsa putih yang berenang anggun di atas danau berair tenang dengan bunga Lotus berwarna ungu yang mengembang indah di tengah-tengah.
Akan tetapi, dibalik semua kesempurnaan kasat mata itu, tak banyak yang mengetahui jika Nadine sebenarnya adalah menyukai pria dewasa---yang pembawaannya tenang dan mapan.
Tiba kelulusan sekolah. Semua murid bersuka cita sambil harap cemas menanti pengumuman. Kecuali Nadine dan Rio, mereka malah asyik merencanakan hal lain setelah ini. Bagi mereka, melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi sambil mengarungi bahtera rumah tangga bukan perkara yang tabu apalagi memalukan; pasti ada perbedaan berpacaran saat kuliah---seperti pemuda-pemudi pada umumnya---jika hubungan mereka telah dibubuhi cap dan tanda tangan penghulu.
"Gimana, Nad? Kamu sudah siap, kan? Minggu depan Mama-Papa kamu suruh siap-siap kedatangan calon besannya. Aku sudah bicara dengan Ayahku perihal ini," kata Rio ketika mereka duduk santai di selasar depan kelas. Begitulah keluarga Rio, saat ini ia hanya dibesarkan oleh seorang ayah, sebab Ibunya telah lama berpulang saat Rio berumur lima belas.
Nadine hanya mengangguk dan tersenyum sekilas menanggapi perkataan Rio, lalu pandangannya tertuju pada kawan-kawan lain yang terlihat bergerombol di lapangan. Rio menghela napas lega. Ia merasa yakin dengan keputusannya.
**
Rencana untuk melamar Nadine yang menggebu telah mengalahkan euforia hasil pengumuman kelulusan mereka. Sebab, sebelumnya Rio memang yakin dirinya akan lulus, demikian pula dengan sang pujaan hati. Dan, memang begitu adanya. Tidak ada yang spesial bagi Rio selain tentang Nadine.
"Ayah, benaran bisa 'kan kita ke rumah Nadine besok Sabtu?" tanya Rio pada sosok kebapakan di hadapannya. Pria berumur hampir setengah abad itu sedang menandatangani beberapa berkas perusahaan yang dikelolanya. Wajahnya simpatik, tidak terlalu tampan namun tampak tenang berwibawa. Satu hal yang terlihat jelas, garis tegas pada lekuk wajah Rio mengadopsi penuh dari Ayahnya.
"Hmm ... gimana kalo hari Minggu saja? Besok Sabtu Ayah ada sedikit pertemuan bisnis dengan kawan lama. Nggak pa-pa kan?" ujarnya setelah menghentikan sejenak aktivitasnya. Tanpa banyak kata, senyum dan suara khas Ayah Rio segera dijawab Rio dengan anggukan kepala.
Rio segera keluar dari kamar kerja ayahnya. Lalu mereka-reka lagi rencana hingga hari Minggu itu tiba.