Lihat ke Halaman Asli

Balutan Kapitalisme dalam Kesusastraan Indonesia

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Saat ini masyarakat menggandrungi karya sastra populer, hal itu dapat ditandai dengan banyaknya buku sastra yang terjual hingga jutaan eksemplar. Sastrawan Indonesia, Radhar Panca Dahana mengatakan, hal itu tentunya dilirik oleh kaum kapitalis dengan harapan mendapatkan keuntungan, Selasa (26/6).

“Apapun yang disebut populer, dapat diterima dari tingkat lapisan masyarakat. Dan setiap lapisan itu merupakan manusia atau kelompok-kelompok manusia, yang masing-masing individu berbeda pendidikan, latar belakang, kecenderungan mental, dan kulturnya,” kata Radhar.

Radhar menganalogikan, sastra populer seperti seseorang yang sedang berenang-renang atau bersampan di permukaan lautan. Karena sastra populer dapat dengan mudah diterima masyarakat pada umumnya, semisal jika kita bersampan akan dengan mudah angin membawa tak tentu arah.

“Sastra bermutu tinggi sendiri layaknya orang yang menyelam di lautan. Karena itu, sastra ini membutuhkan pembaca atau apresiator yang mempunyai pemahaman hidup lebih mendalam, sastra yang menyelam itu kuat dan hanya ikan-ikan besar dan purba yang mampu memakannya.” ungkap Radhar.

Senada dengan Radhar, Akhmad Zakky, Dosen Sastra UIN menjelaskan, “Sastra populer merupakan bacaan ringan yang si pembacanya tidak perlu untuk menelaah kata per kata untuk dimengerti. Selain itu, sastra yang teknik penceritaan, penokohan, dan unsur-unsur instrinstiknya dibangun dengan sederhana sehingga memudahkan pembaca,” tambahnya, Senin (9/7).

Sastra kapitalisme

Radhar memaparkan, “Akibat sastra di kedalaman itu tidak banyak masyarakat atau publik yang dapat mengapresiasi dikarenakan sastra tersebut membutuhkan kapasitas intelektual, spiritual, kultural dari para apresiatornya. Hal ini berdampak kepada tidak bisa diserap oleh banyak orang, hanya segelintir orang yang mempunyai kapasitas tersebut.”

“Orang-orang yang membeli novel Andrea Hirata, novel islami dan sastra populer, oleh kepentingan lain dimanfaatkan, dengan harapan mendapatkan keuntungan melalui apresiatornya yang banyak. Hal ini bukan hanya dialami oleh sastra tetapi juga film dan musik,” tambahnya.

“Sastra dalam kapitalisme berkaitan dengan siapa dan berapa banyak yang mengkonsumsi. Semakin banyak yang mengkonsumsi, para penganut keuntungan akan tergerak untuk masuk ke dalamnya. Karena saat ini merupakan zaman konsumtif,” ungkap Radhar.

Sedangkan Akhmad Zakky berpandangan bahwa sastra dalam kapitalisme itu dunia kesusastraan yang dimasuki pemilik modal yang besar. Hal itu dapat dilihat dari penerbitan dengan modal yang besar, memonopoli pasar dengan jaringan toko buku yang berada di mana-mana. “Sedangkan penerbit kecil harus terseok-seok menerbitkan buku dan mendistribusikannya. Yang terjadi saat ini  kesusastraan akhirnya menjadi industri yang mengambil keuntungan saja,” kata lulusan S2 Humaniora UI ini.

Penerbitan merupakan, misionaris esensi (refleksi idealisme) dari buku-buku yang diterbitkan. Namun, penerbitan tidak bisa menggantungkan sekedar pada idealismenya saja. Akhirnya, terjadi kapitalisme di dunia penerbitan, hal ini berpengaruh pada kualitas penafsiran karya sastra, diamana orientasi keuntungan menjadi fokus yang lebih.

Esensi karya sastra tidak menjadi hal yang penting dalam keputusan menerbitkan sebuah karya. Karya yang di permukaan lautan pun dapat terbit apabila ada kekuatan modal dibelakangnya. Penerbit tidak mau mengambil resiko kerugian, apalagi di tengah kondisi perekonomian bangsa yang semakin tak menentu.

Peran pemerintah

Radhar mengatakan, “Kekuatan yang dapat menandingi kapitalisme adalah pemerintah. Pemerintah harus melakukan pembelaan terhadap karya-karya yang bermutu tinggi. Salah satu contohnya, dengan mencetak 100.000 eksemplar dan membagikannya ke perpustakaan.

“Kerena tidak mungkin, misalnya saja Putu Wijaya, seorang sastrawan harus berjuang sendiri, ya mana kuat? Kecuali dia mau menyerah pada kehendak pasar dengan membuat karya sastra seperti romantisme murahan. Ya dia mana mau mending gua miskin dibanding buat seperti itu,” tegas Radhar.

Selain itu, “Pengubahan pola pikir harus diubah dari pendidikan yang paling dasar. Di sekolah-sekolah dasar harus sudah diajari membaca, kemampuan apresiasi dalam pendidikan, memberikan fasilitas pada penerbit buku sastra yang bermutu,” jelasnya

Senada dengan Radhar, Akhmad Zakky mengatakan, “Salah satu cara masyarakat tidak terjebak dalam sastra kapitalisme, dengan memberikan semacam pendidikan sastra yang bertujuan memahami karya sastra. Tetapi dirinya pesimis hal tersebut bisa terwujud karena saat ini masyarakat sudah terjerat dalam kapitalisme,”

Dengan begitu, masyarakat tidaklah salah karena masyarakat membeli buku yang di inginkannya, sedangkan pemilik modal mampu mempengaruhi pembeli dengan berbagai media massa. Saat ini seharusnya pemerintah lebih berperan, bacaan apa yang seharusnya baik dibaca oleh masyarakatnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline