Beberapa tahun belakangan ini kacamata dunia Internasional kembali seperti terbelalak dan perasaan mereka pun terkoyak. Banyak media dalam negeri maupun mancanegara sering menyoroti peperangan, kekerasan bahkan kejahatan yang melibatkan kemanusiaan dan tak jarang dipengaruhi oleh kedigdayaan, pendudukan atau kekuasaan atas suatu wilayah, suku, etnis budaya serta agama tertentu. Entah mengapa seolah Semenanjung Mediterania atau kawasan Timur Tengah rentan sekali menjadi sasaran empuk keberingasan tentara militer negara tetangganya sendiri ataupun koalisi sekutu yang turut pula didalangi oleh campur tangan pihak asing.
Banyak hal yang menjadi pemicunya antara lain ditengarai disebabkan oleh kayanya kondisi geografis negara konflik tersebut seperti ladang sumber minyak, lahan subur yang ditumbuhi sumber daya alam hingga menjadi poros strategis peradaban dunia dan beberapa alasan lain yang menyangkut isu-isu pemahaman sempit anti atau ketakutan terhadap Islam (Islamophobia) ditambah konflik perebutan wilayah suatu negara yang telah terjadi sejak dahulu dan terus memanas hingga saat ini.
Belum diketahui kapan akan berakhir? Bahkan kenyataannya kejahatan kemanusiaan tersebut tidak hanya dialami oleh kawasan TimTeng saja meluas hingga ke kawasan Asia Tenggara yaitu Myanmar.
Sebut saja konflik berkepanjangan yang melibatkan SARA yang terjadi antara Israel-Palestina, perang saudara di Suriah (Syiria) serta yang masih membekas dalam ingatan yaitu genosida yang terjadi kepada kelompok etnis Rohingya atas tentara militer di Myanmar dan masih ada beberapa lagi yang lain.
Keprihatinan berangkat dari banyak kalangan tak hanya dari umat Muslim di dunia tetapi masyarakat dunia termasuk organisasi internasional. Banyak bantuan logistik berdatangan bahkan lobi-lobi diplomasi dilakukan. Namun nyatanya tak jua menyelesaikan beberapa konflik tersebut secara damai dan mencapai mufakat.
Khojaly Massacred: A Human Tragedy Against Azerbaijan
Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah. Memasuki bulan Februari tepatnya setiap tanggal 26 negara Azerbaijan memperingati tragedi genosida sebuah kota yang indah nan mempesona bernama Khojaly pada tahun 1992. Tempat ini seketika berubah menjadi lautan mayat sekejap saja hanya dalam semalam. Dinginnya malam yang bersalju putih mendadak berganti merah darah. Jeritan dan isak tangis menjadi saksi atas kekejaman yang dilakukan oleh negara tetangganya sendiri yang masih sebangsa dengan Azer yaitu Armenia.
Khojaly adalah sebuah kota kecil yang berada di kawasan administratif negara bagian Nagorno Karabakh, di jalan Agdam - Susha, Khankendi (Stepanakert) - Askeran dekat dengan bandara, yang merupakan teritori negara Azerbaijan yang diakui secara Internasional.
Khojaly menjadi wilayah yang dipersengketakan antara Armenia dan Azerbaijan. Terletak 270 km sebelah barat Baku, ibu kota Azerbaijan, Karabakh sejatinya masuk ke dalam bagian wilayah negara Azerbaijan. Namun, wilayah tersebut malah dihuni oleh mayoritas etnik Armenia. Konflik bermula setelah diproklamirkannya kemerdekaan Republik Nagorno-Karabakh dari Azerbaijan pada 10 Desember 1991, namun kedaulatan republik tersebut tidak diakui oleh dunia internasional dan wilayah tersebut secara de jure dianggap sebagai bagian dari Azerbaijan.
Dengan jumlah penduduk sebanyak 7000 jiwa di antaranya 3000 ribu penduduknya mayoritas merupakan pemeluk agama Islam. Sedangkan Armenia menganut Kristen Ortodoks Apostle. Militer Armenia pun turut campur tangan lebih jauh, juga Rusia yang ikut membantu Armenia. Perang kedua negara tetangga itu pun terjadi.
Pada malam 26 Februari 1992, ribuan etnik Armenia-Karabakh yang dibantu oleh militer Armenia melumat kota Khojaly yang tengah bergegas untuk beristirahat. Sekalipun penyerbuan waktu itu hanya berjalan semalam saja, namun korban yang berjatuhan tercatat lebih dari 600 orang. Mesjid-mesjid, madrasah, rumah, dan bangunan-bangunan kota Khojaly banyak yang hancur. Khojaly di malam itu benar-benar menjadi ladang pembantaian. Tragedi tersebut sangat melukai perasaan warga Azer khususnya di Khojaly dan wilayah lain seperti di Nagorno, Karabakh. Dalam kurun 25-26 Februari setidaknya merenggut banyak korban jiwa yang tidak berdosa.