Siapa bilang semua profesi hanya didominasi oleh kaum pria saja? Kini anggapan seperti itu sudah tak lagi berlaku dan mudah saja terpatahkan. Bukan persoalan pemahaman yang konservatif atau munculnya pemikiran modern yang mengikuti perkembangan zaman, tetapi kini posisi perempuan juga memiliki peran yang sama penting bahkan setara dengan pria.
Beberapa perempuan Indonesia sudah membuktikan bahwa mereka mampu memegang peran penting dalam membangun bangsa. Salah satunya adalah Mari Elka Pangestu, salah seorang ekonom Indonesia kelas dunia. Kita juga mengenal Susi Susanti yang sudah mengharumkan nama Indonesia dalam bidang olahraga, dimana ia merupakan peraih medali emas pada Olimpiade Bercelona di tahun 2002 pada cabor Bulutangkis. Sosok yang masih tergambar jelas di hati rakyat adalah mantan presiden kelima kita yaitu Megawati Soekarnoputri, wanita pertama satu-satunya yang pernah memerintah negara ini. Ketiganya merupakan model panutan yang dapat kita teladani.
Begitu pun dalam bidang seni dan budaya, utamanya profesi di dunia seni peran. Peran perempuan menjadi sangat penting dalam memberi suguhan dalam sebuah karya film. Untuk itulah dalam rangka memperkaya wawasan dunia perfilman, KOMIK (Kompasianers Only Movie enthus(i)ast Klub) yang merupakan wadah komunitas Kompasiana Pecinta Film terus berupaya memperkenalkan, menumbuhkan kecintaan serta turut andil dalam melestarikan film Indonesia dengan mengundang anggota komunitasnya mengikuti berbagai kegiatan kopdar. Dari mulai nobar (nonton bareng) hingga event workshop. Sudah menjadi agenda rutin dalam beberapa pekan setiap bulannya, KOMIK mengundang rekan-rekan Kompasianer menyaksikan beberapa film premiere dan film festival baik itu lokal maupun mancanegara. Tapi kali ini berbeda dari biasanya, bagi saya ini kesempatan langka dan merupakan pengalaman perdana. Dengan menggandeng Bank Danamon dan Kompasiana, KOMIK menggelar workshop (lokakarya) bertajuk "Saatnya Sineas Perempuan Pegang Kendali dalam Kancah Film Nasional" yang digelar tanggal 6 Mei lalu di Lau's Kopitiam, Setiabudi Building yang berada di kawasan utama perkantoran Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Dalam acara ini dipandu pula oleh moderator Dewi Puspa, selaku salah satu admin KOMIK yang merupakan penggemar film dari segala genre atau istilahnya movie freaks yang lihai dalam mengulas berbagai film Indonesia dan mancanegara (menurut pengamatan pribadi saya).
Ketika Sineas Perempuan Tampil
Kenapa kali ini yang diangkat perempuan? Masih segar dalam ingatan, bulan April lalu baru saja kita memperingati Hari Kartini. Melalui spirit dan perjuangan Kartini lah kini perempuan mendapat tempat dan memperoleh kesetaraan dengan kaum pria. Setara berarti memiliki hak yang sama untuk menciptakan sebuah kreatifitas dan mengembangkan potensi yang mereka miliki. "Saatnya Perempuan Pegang Kendali" di sini bukan semata-mata diartikan kendali sepenuhnya dipegang oleh perempuan, tapi kini keterlibatan mereka justru memegang peranan penting dalam produksi film. Terasa kurang rasanya jika bincang-bincang dan diskusi kali ini tidak menghadirkan pakar dan pemateri ahli di bidang ini. Di tengah-tengah KOMIK menghadirkan narasumber Swastika Nohara yang dikenal sebagai penulis naskah film/ skenario dan Balda Fauziyah yang berprofesi sebagai blogger film.
Perbincangan diawali dengan keprihatinan Swastika mengenai animo masyarakat terhadap film-film lokal. Sembari nyeleneh ia berujar
Saya suka gemes kalau ada orang di luaran bilang, “Ah, ngapain nonton film Indonesia, jelek-jelek, paling horor atau komedi gak jelas.”
Terus saya tanya, “Mbak/mas kapan terakhir kali nonton film Indonesia di bioskop? Waktu film apa main?”
Terus dijawabnya, “Film Laskar Pelangi!”
Swastika menyanggahnya, Film Laskar Pelangi itu sudah dari tahun 2008. Nyaris satu dekade yang lalu. Tika mengakui memang ada periode dimana layar film Indonesia dipenuhi film horor yang miris kualitasnya, tapi itu dulu. Sekarang, lihat saja buktinya sendiri di website 21Cineplex, CGV Blitz atau Cinemaxx, ada beragam pilihan film Indonesia dari berbagai genre. Memang tidak semua bagus, tetapi ia berani bertaruh membelikan 1000 tiket bioskop untuk teman-teman semua, setiap bulan setidaknya ada satu film Indonesia dengan kualitas baik yang menyenangkan untuk ditonton. Sering kali malah lebih dari satu judul.
Sejarah Perkembangan Film Perempuan Dari Masa Ke Masa
Dalam kesempatan ini menurut Tika, sapaan akrab Swastika, menilai film Indonesia berkembang dengan pesat dalam kurun 10 tahun terakhir. Perempuan Indonesia mulai bermunculan dalam film nasional, dengan mengawali karir mereka sebagai aktor. Hal ini dibagi menjadi 3 fase, yaitu fase kejayaan di masa lalu, fase kesuraman dan bangkitnya kembali film perempuan di masa kini. Di masa lalu muncul nama-nama seperti Roekiah (1937) dalam lakon Terang Boelan (Het Eilan der Droomen) dan ANIF (Algeemene Indie Film Syndicaat). Kemudian Titien Sumarni dalam Seruni Salju (1951) yang populer dijuluki Marilyn Monroe' nya Indonesia. Memasuki era tahun 50-an, muncul film Tiga Dara, kita juga mengenal nama-nama sebut saja seperti Citra Dewi, Mieke Wijaya dan Indriati Iskak dalam besutan karya sutradara Usmar Ismail (1957). Tidak hanya para pemain yang menghiasi dalam produksi suatu film, terdapat pula tangan hebat para sineas cerdas dari balik layar, seperti Ratna Asmara yang menyutradarai Film Sedap Malam (1950). Belum lagi yang patut diperhitungkan saat itu adalah peran peraih piala Citra Christine Hakim yang memukau pada film Cinta Pertama (1973) hingga Tjoet Nja’ Dhien (1988) garapan Teguh Karya.
Sepanjang karir menulisnya Swastika tak bisa dipandang sebelah mata. Capaian prestasinya begitu gemilang, sejumlah naskah dari berbagai judul film berhasil ditulis dari tangan kreatifnya, sebut saja 3 Srikandi, Cahaya Dari Timur: Beta Maluku, M. Natsir, Hari Ini Pasti Menang, Garuda 19 dan Papua Berkisah. Tika pun sempat mengumbar opininya tentang bagaimana perempuan Indonesia dimunculkan dalam film. Sejak zaman film Tiga Dara yang otentik di tahun 1957, lalu ada film Inem Pelayan Seksi (1976), hingga menjelang era tahun 80-an Lima Cewek Jagoan (1980) hingga film esek-esek yang silih berganti memenuhi layar bioskop Indonesia di tahun 1990 an semacam Gadis Malam dan Gadis Metropolis yang melejitkan nama selebriti cantik sekaliber Inneke Koes Herawati saat itu. Banyak perempuan yang dihadirkan dengan mengenakan pakaian seronok (kurang pantas) dan lebih banyak ditempatkan sebagai objek. Untungnya pada era milenial, mulai pertengahan tahun 2000 an, film Indonesia mulai bangkit kembali.
Banyak film kemudian menampilkan sosok perempuan yang lebih feminist. Sebut saja ada Arisan!, Berbagi Suami, Claudia Jasmine, Athirah, Kartini, dan tentunya ehem uhuk uhuk film 3 Srikandi yang rilis di tahun 2016.