Jogja dilanda badai covid chapter kedua begitu kira-kira keresahan di banyak media sosial yang beredar. Tidak dinyana bahwa larangan mudik masih membuka ruang reuni atau reriungan atau kumpul-kumpul pasca lebaran. Patut diduga pasca lebaran yang bisa jadi banyak perjamuan atau jalan-jalan seputaran Jogja, menjadikan lengah sehingga virus masuk dan menular ke mana mana.
Saya mungkin tidak terlalu galau jika pandemi berjalan wajar karena bagaimana pun ini adalah musibah bersama. Artinya galau bersama dan kita hadapi bersama.
Namun ini semakin dekat dengan personal space yang ada di sekitar saya. Kalau di Surabaya saya kehilangan banyak kolega yang wafat di tengah pandemi, usia masih di bawah 45 tahun, sedang senang-senangnya bekerja, maka saat ini tetangga-tetangga saya di kota kelahiran di Jogja tidak kurang dari 12 orang terbukti positif covid19.
Meskipun saya saat ini tidak ngedhep, tidak berhadapan secara fisik, namun sungguh memukul mental mora yang ada.
Hantu covid19 masih terus mengintai, apalagi ada mutasi virus yang dikabarkan semakin ganas.
Pertanyaannya, mengapa ada badai covid di Jogja yang notabene adalah kota dengan penduduk yang patuh mituhu terhadap protokol?
Dan bukankah jalanan juga semakin sepi di mana mobil bis antar kota antar provinsi juga lengang?
Dugaan saya adalah: fatique.
Fatique atau kelelahan fisik yang berlebihan semakin terbukti menjatuhkan imunitas sehingga virus mudah masuk.
Ngregesi, badan adem panas, kurang tidur karena kebanyakan acara, adalah pemicu imunitas yang turun drastis.