Rabu tanggal 24 Februari 2021. Udara agak sejuk, semalam hujan deras di kawasan Surabaya Utara. Pelabuhan basah kuyup oleh hujan. Jika terlalu deras, kadang ada genangan yang bisa memacetkan sepeda motor di sekitar gang jalan.
Saya sudah janjian mau gowes pagi ini. Agak awang-awangen, karena khawatir hujan kembali turun. Alhamdulillah, akhirnya bakdo subuhan, berangkat dari STIAMAK Barunawati Surabaya yang berada di tengah hiruk pikuk traffict truk besar dan kontainer.
Pukul 0530 thit, kami mulai mengayuh pelahan menyusuri kawasan Perak, ke arah barat, selatan, timur, selatan, barat, timur, dan seterusnya.
Strava mencatat lumayan lah pagi ini ada jarak 16,5 km yang ditempuh. Bukan karena tidak kuat, namun pukul 0800 saya sudah harus stand bye di depan laptop untuk webinar setengah hari.
Kalau waktu agak panjang, kami bisa menyusuri sampai jembatan Suromadu, meer ringroad timur, its, dan melintas menyusuri jalan bisa berjarak 40 - 60 an km. Alhamdulillah tetap bungah meski hari ini tidak sepanjang pas longgar waktu.
Rumah Tjokro
Saya muter-muter di kawasan Peneleh akhirnya kangen juga pingin visit rumah Eyang Tjokroaminoto yang masyhur sebagai markas besar meski rumah kecil, yang bisa melahirkan tokoh sebesar Bung Karno, sampai dengan tokoh DI TII Kartosuwiryo, dan juga tokoh PKI Muso.
Sejarah menorehkan dengan dahsyat, lahir gemblengan seorang Nasionalis Religius, tumbuh menjadi 3 aliran mainstream yang sampai sekarang saling gerilya mencari pengaruh. Nasionalis Bung Karno, Islamis aliran hijau keras, dan komunis yang resmi sudah dilarang.
<iframe width="506" height="285" src="//www.youtube.com/embed/y-jADxUlgWU" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
Menurut sang empunya cerita, H.O.S Tjokroaminoto lahir di Madiun, Jawa Timur, ia hijrah ke Surabaya pada bulan September 1907. Di Surabaya H.O.S Tjokroaminoto beserta keluarganya bertempat tinggal di Jl. Peneleh VII / 29-31. Rumah inilah yang maish utuh sampai sekarang, dan jadi monumen abadi yang bisa dikunjungi.
Saya sering gemeteran dan terharu melihat rumah kecil tersebut. Membayangkan bagaimana Muso, Bung Karno, dan Kartosuwiryo berdebat ideologis, yang pada akhirnya ada benturan politis di antara mbah-mbah generasi politik tersebut.