Putusan MA yang memperbolehkan pemimpin daerah berusia 30 tahun mendatangkan banyak protes. Sebenarnya jika dicermati, keputusan MA itu hanya mengubah syrat usia kepala daerah dari "ketika mendaftar sebagai calon" dengan "ketika atau pada saat dilantik". Jadi kalau dulu menjadi kepala daerah pada saat mendaftra usianya minimal 30 tahun maka kini dengan putusan MA tersebut maka saat mendaftar boleh berusia kurang dari 30 tahun tetapi saat terpilih dan dilantik maka usianya harus inimal 30 tahun. Jadi batas usia minimalnya paling selisih 1 tahun atau bahkan hanya hitungan bulan saja.
Protes masyarakat tampaknya tidak kepada pemimpin atau kepala daerah yang berusia muda tetapi lebih kepada nuansa Nepotisme dalam keputusan itu yang bisa dibaca jelas kepada siapa keputusan itu ditujukan. Maka cita-cita reformasi yang diperjuangkan dengan darah, keringat, dan air mata seluruh komponen masyarakat agar Indonesia bebas dari Korups, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) menjadi kabur kembali. Juga jargon Revolusi Mental hanya kata-kata kosong yang implementasinya tidak ada atau tereduksi dengan keputusan itu.
Protes kalangan masyarakat terhadap putusan itu juga terhadap betapa hukum gampang diubah-ubah untuk kepentingan pribadi. Banyak yang mengatakan saat pilpres dulu putusan MK yang menurunkan batas usia Capres-Cawapres. Kini putusan MA yang menurunkan batas usia kepala daerah. Lalu nanti apa lagi? Kepercayaan masyarakat terhadap hukum bisa semakin menipis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI