Pada tahun politik 2024 akan dilaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) serentak. Pemilu serentak yang dimaksud adalah akan dilakukan pemilihan secara bersama-sama atau serempak: Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, Anggota DPD, Anggota DPR dan DPRD.
Gelaran Pemilu tersebut menelan biaya yang tidak sedikit. Dari APBN 2024 misalnya sudah dianggarkan Rp 38,2 Triliun. Di samping dana dari pemerintah tentunya juga ada dana yang cukup besar dari setiap kontestan untuk kampanye supaya terpilih.
Dana kampanye tersebut bisa berasal dari dana pribadi maupun pinjaman atauu kredit. Jika dana tersebut berasal dari utang atau kredit maka hal ini yang perlu diwaspadai.
Pada tahun 2023 ini dan masih dipertahankan di tahun 2024 Bank Indonesia memperbesar insensif likuiditas makroprudensial dari 2,8% menjadi 4 persen mulai 1 Oktober 2023 lalu.
Kebijakan ini dimaksudkan untuk memberi insentif bagi bank yang menyalurkan kredit bagi sektor prioritas seperti: sektor yang melakukan hilirisasi minyak dan gas bumi, sektor pertanian, peternakan, perikanan, sektor perumahan, pariwisata, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), kredit usaha rakyat (KUR) dan ultra mikro (UMi), serta ekonomi keuangan hijau. Insentif tersebut berupa pengurangan Giro Wajib Minimum (GWM) yang harus disimpan perbankan di BI.
Tujuan kebijakan memberikan insentif likuiditas makroprudensial ini adalah mendorong pertumbuhan karena suramnya pertumbuhan ekonomi di berbagai negara.
Khusus untuk Indonesia memang banyak ramalan bahwa pertumbuhan ekonomi di tahun 2023 ini menurut proyeksi Bank Dunia tak sampai 5 persen. Maka kebijakan ini diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi lewat peningkatan penyaluran kredit perbankan ke sektor-sektor prioritas yang sudah disebutkan.
Namun yang perlu ditekankan adalah prinsip Know Your Customer (KYC) harus dijalankan dengan lebih ketat di tahun politik 2023 dan 2024. Mengapa? Karena jangan sampai kebijakan BI untuk mendorong penyaluran kredit oleh perbankan nantinya disalahgunakan untuk kebutuhan kampanye yang justru punya potensi menjadi kredit macet.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H