Ada beberapa hal yang menarik tentang Upah Minimum Provinsi (UMP).
Pertama, meskipun namanya upah minimum tetapi tampaknya lalu menjadi upah maksimum. Jarang perusahaan yanng menetapkan upah di atas ketentuan upah minimum.
Ada anggapan jika sudah mentaati ketentuan upah minimum maka kewajiban perusahaan selesai. Semestinya hal ini menjadi perhatian juga bagi Kementrian ketenagakerjaan untuk mendudukkan kembali kebijakan upah minimum.
Kedua, selalu ada saja ketidak cocollan antara tenaga kerja dengan perusahaan dalam hal upah minimum yang ditentukan oleh pemerintah. Tenaga kerja biasanya akan mengatakan upah minimum yang ditetapkan terlalu rendah, sementara perusahaan menganggap upah minimum yang ditetapkan terlalu tinggi dan memberatkan perusahaan. Dalam hal ini sebenarnya bisa dipegang prinsip upha yang adil. Adil maksudnya adil bagi pengusaha atau perusahaan dan adil bagi tenaga kerja.
Oleh karena itu sudah tepat jika pemerintah menyediakan lembaga tripartit untuk menyelesaikan perselisihan upah dan mestinya baik tenaga kerja maupun perusahaan saling bertoleransi menerima pendapat masing-masing.
Tenaga kerja yang terlalu bersikeras menuntut kenaikan upah bisa saja menjadi mumerang. Maksudnya upah dinaikkan tetapi kemudian perusahaan akan mengurangi tenaga kerja alias melakukan PHK sehingga pada akhirnya tenaga kerjalah yang dirugikan.
Ketiga, ada banyak yang menghubungkan kebijakan upah minimum ini dengan produktivitas tenaga kerja. Diharapkan memang kenaikan upah minimum akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja.
Tetapi kenyataannya (mungkin perlu diteliti lebih lanjut) upah minimum yang terus dinaikkan membuat tenaga kerja tidak naik produktivitasnya. Mereka akan punya anggapan, tidak naik produktivitasnyapun upah minimum akan tetap naik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H