Perjalanan sang kala memang tak bisa dihalangi dan sang gadis hanya bisa mengikutinya belaka.
Namun hingga purnama ini hanya kepahitan hidup yang dirasakannya.
Memang jika dilihat yang kasat mata, sang gadis tampak bahagia. Ia lahir dari keluarga berada. Anak tunggal yang tak punya saudara. Gelar sarjana juga sudah diraihnya. Tapi sejak kecil hidupnya hampa. Orangtuanya dua-duanya pebisnis sukses tiada tara. Tapi rumah hanya merekaa jadikan persinggahan sementara. Sang gadis tak dapat bercerita tentang suka duka dengan temannya bermain maupun teman sekolahnya.
Sampai sekolah tinggi hingga tamat sarjana, situasi yang dialaminya tak berbeda. Hingga ketika kedua orangtuanya tiada, sang gadis hampir tak merasa kehilangan dan tak meneteskan airmata. Ia hanya memendam semua dalam hatinya saja. Sialnya tak ada seorangpun perjaka yang mendekatinya. Mereka takut mendekat karena sang gadis jauh di atas mereka dalam segala. Dalam harta, pendidikan, maupun rupa.
Sering dalam kedukaan dan kesepian yang mendera, sang gadis berandai jika dilahirkan kembali ia ingin jadi apa. Ia berimaji bahwa jika ia dilahirkan lagi ia ingin lahir dari keluarga biasa saja. Keluarga biasa namun penuh dengan kemesraan dan canda tawa. Keluarga yang setiap malam bisa makan malam bersama dan ia bisa mencurahkan pengalaman seharinya bersama teman-temannya. Dan dia juga ingin didekati oleh lelaki yang juga biasa saja tetapi cintanya baginya tulus, murni, dan setia sepanjang hidupnya.
Khayal sang gadis memang tak bisa menjadi nyata. Jarum jam tak bisa berbalik berputarnya. Tapi dengan berandai dan berkhayal itu luka hatinya sedikit mereda. Ibarat obat pereda rasa sakit yang sementara bisa meringankan sakit tetapi memang tak bisa mengobati penyakit yang sesungguhnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H