Sang lelaki penyair bertanya pada diri tentang puisi yang ditulisnya sendiri. Pertanyaan dalam hati itu adalah jika memakai metafora, seperti apakah seharusnya puisi?
Apakah seperti gunung yang indah dari kejauhan tetapi panas dan gersang jika didekati? Tentu tidak karena puisi harus sama indah bagi si pembaca yang mengambil jarak maupun bagi si penyair yang terlibat dari dekat secara pribadi.
Apakah seperti gadis cantik wajah berseri tetapi ternyata menggunakan rias wajah tebal tak asli? Bukan bukan seperti itu yang hakiki. Puisi haruslah jujur apa adanya tanpa mengandung hipokrisi.
Ataukah puisi itu seperti keindahan melati yang tak terdefinisikan secara pasti? Ataukah seperti spasi dalam tulisan yang diketik yang bisa dihitung dengan tingginya akurasi?
Lalu yang benar seperti apakah puisi? Dalam renungan yang mendalam di hati sang penyair lalu menulis bahwa janganlah hati dan pikiran terbebani karena definisi. Puisi bukanlah karya ilmiah yang perlu secara ketat dibatasi. Tak harus pula bisa dimengerti. Puisi adalah seni yang rasa dan keindahan lebih penting dari definisi dan arti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H