Gadis itu sangat mencintai gerimis.
Tiap mendung datang ia selalu berharap hal itu akan diikuti dengan gerimis ataupun hujan tipis-tipis. Dan ketika itu terjadi ia akan keluar rumahnya untuk menikmatinya seperti seorang pembaca prosa liris.
Alasannya sederhana saja agar airmata tangisnya tersamar oleh rintik gerimis. Ia ungkapkan itu untuk mengurangi luka di hatinya yang teriris-iris.
Luka yang sangat perih dari masa lalu yang awalnya tak diketahuinya secara persis. Awalnya ia hanya tahu sejak bayi berada di panti asuhan dengan alasan kedua orangtuanya telah pergi selamanya karena kecelakaan yang tragis. Ia menerima penjelasan itu hingga setiap malam ia berdoa untuk kedamaian arwah kedua orangtuanya itu sambil menangis.
Sampai kemudian ia bisa melepas kesedihannya, menjadi mandiri, dan jadi gadis dewasa yang manis. Sampai kemudian ia mendengar cerita sesungguhnya tentang dirinya yang tak kalah mengiris. Ibunya sebenarnya masih ada dan terpaksa menyerahkan dirinya di panti asuhan karena malu dan merasa tak mampu membesarkan sang gadis. Ayahnya juga masih ada dan juga entah ke mana karena merupakan tipe pria pengecut yang hanya au mengambil dari ibunya yang manis-manis.
Sejak saat itu luka hati yang telah menutup kembali mendera sang gadis. Ia selalu menangis. Tapi itu ditahannya dan hanya ia keluarkan tangisnya bersama rintik gerimis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H