Anak lelaki itu tepekur, terdiam, dan meneteskan air mata di depan sepasang pusara. Tanah di pusara itu masih basah dan masih ada taburan bunga di atasnya. Ya, itu adalah sepasang pusara dari ayah dan bundanya. Terengut nyawa karena corona.
Kini di depan sang bocah hanya tergambar panorama masa depan yang sepenuhnya gelap gulita. Tentang pendidikan, makan, pakaian, tempat tinggal, dan lainnya yang tak terjamin semuanya.
Tapi hidup kan terus harus dijalankan.
Lalu tiba-tiba ada serombongan burung terbang di atasnya. Sang bocah berpikir sejenak dan ia lega hati karena burung-burung itupun tanpa sarang, tanpa ada yang memelihara, tanpa ada yang memberi makan, tapi bisa hidup juga. Sebab Tuhan yang Maha Esa pasti tak akan membiarkan ciptaanNya tak terurus hidupnya.
Di tengah perjalanan ia pun melihat bunga-bunga liar di tepi jalan yang mekar meski tak pernah disiram dan dipupuk oleh seseorang. Sama dengan burung-burung liar di udara pula.
Sang bocah berharap semoga Tuhanpun bermurah hati kepadanya seperti kepada burung-burung di udara dan bunga-bunga liar di tepi jalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H