Lelaki itu membangun gubug seadanya di sedikit sisa bekas tanah miliknya. Tanah miliknya digusur untuk pembangunan real estate dengan ganti rugi tak seberapa. Alasannya secara hukum hak yang dimilikinya tak cukup kuat untuk menuntut ganti rugi yang lumayan besarnya. Padahal ia mendiami tanahnya sudah cukup lama secara turun temurun tanpa ada yang mengusiknya.
Tapi kapitalisme dan ekonomi pasar tampaknya mengubah segalanya. Tanah yang dulu didiaminya dengan aman sentosa kini harus direlakannya. Ia lelaki sederhana yang tak paham hukum dan belantaranya.
Ia memutuskan membangun gubug sederhana di sisa tanahnya itu karena baginya tanah tak sekedar harta milik dunia tetapi juga semacam harga diri dan kebanggaannya. Tanah itu juga sudah menorehkan berbagai kenangan. Tentang masa kecil yang bahagia. Tentang menjalani hidup yang terus menerjang meski tak mudah tetapi membawa kenangan yang indah selamanya.
Entahlah nanti kalau gubugnya pun akan digusur karena dianggap merusak keindahan kota. Mungkin akan lebih baik baginya untuk tinggal saja di kediaman abadinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H