Dengan berat hati, lelaki tua itu menjual radio transistor tua yang selama ini menemaninya.
Dulu radio itu selalu ia gunakan sebagai penganatar tidur ketika mendengarkan Nyi Tjondro Lukito mendendangkan syair Kutut Manggung dengan iringan gending yang mengalun merdu.
Kadang ia juga mendengarkan dalang Ki Timbul Hadiprayitno melakonkan kisah-kisah Baratayuda yang tragis. Ditemani segelas kopi hitam pahit, di tengah hujan di malam hari.
Tapi kini sudah jarang bahkan tak ada lagi statsiun radio yang masih menayangkan gending-gending jawa atau menyiarkan wayang purwa. Isi siarannya tak lebih dari hamburan kata-kata dan celoteh anak muda tanpa makna. Ataupun lagu berisik yang syairnya cuman satu kata yang diulang-ulang.
Radio transistor tua itu dijual sang lelaki beserta segala kenangan yang menyertainya. Jaman memang tak bisa dikekang untuk jalan di tempat. Semakin lama larinya semakin cepat. Dan lelaki tua itu merasa semakin lama semakin tertinggal langkahnya.