Lihat ke Halaman Asli

Dr. Nugroho SBM MSi

Saya suka menulis apa saja

Optimis di 2020 dengan Sumber Pertumbuhan Baru

Diperbarui: 3 Januari 2020   10:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Hampir semua lembaga meramalkan pertumbuhan ekonomi Indonesia ditahun 2020 mendatang adalah pesimis, dalam arti tertahan di kisaran 5%. Beberapa ahli dan lembaga menyebut- oleh karenanya salah satu contoh- Indonesia sebagainegara yang terjebak dalam negara berpendapatan menengah (midle income trap).

Bank Indonesia (BI) telah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 mencapai 5,1-5,5%. Center of Reform on Economics (CORE) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di angka 4,9-5,1%. Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 pada angka 5%.

Selanjutnya J.P. Morgan memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 dan 2021 di angka 4,9%. Yang paling pesimis adalah INDEF yang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di 2020 sebesar 4,8%. Bahkan pemerintah sendiri dalam asumsi ekonomi makro di RAPBN 2020 juga mematok pertumbuhan ekonomi sebesar 5,30%.

Beberapa penyebab bisa disebutkan mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia tertahan. Pertama, adanya imbas dari perang dagang antara AS dan Tiongkok yang sampai saat ini belum jelas kapan berakhir meskipun baik AS dan Tiongkok selalu mengatakan bahwa mereka menginginkan perang tersebut segera berakhir.

Perang dagang tersebut telah menyebabkan ekspor Indonesia ke kedua negara tersebut juga mengalami kendala dan menurun. Padahal keduanya merupakan tujuan utama ekspor Indonesia

Kedua, adanya isu politik yang panas di AS tentang pemakzulan (impeachment) Presiden Trump oleh DPR AS. Meskipun Trump optimis ia akan menang di senat tetapi tetap saja hal tersebut membuat ekonomi dihampir semua negara terguncang dan para pelakunya menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya (sampai tulisan ini dibuat).

Ketiga, iklim investasi untuk Indonesia ternyata belum menarik untuk investor asing khususnya. Presiden Jokowi berkali-kali menekankan bahwa ia akan "menyikat" habis pihak-pihak yang menjadi penghalang membaiknya iklim investasi. Tetapi pada skala daerah, birokrasi untuk perijinan investasi tetap belum seragam dan masih rumit serta berbiaya tinggi.

Keempat, kebijakan The Fed untuk terus menurunkan suku bunga acuannya. Pada tahun 2019, The Fed sudah menurunka bunga acuannya sebanyak 3 kali dan diperkirakan akan terus berlanjut sampai 2020. Hal ini mendorong para pemegang uang untuk mengalihkan uangnya dari AS ke negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia.

Memang masuknya dana asing tersebut akan membuat  nilai tukar mata uang domestik (termasuk rupiah) terhadap mata uang asing (terutama dolar AS) stabil dan bahkan menguat. Tetapi dana asing ini sifatnya jangka pendek yang sewaktu-waktu bisa berpindah dan dengan demikian akan membuat nilai tukar mata uang domestik melemah terhadap mata uang asing.

Akibatnya dana asing ini tak bisa dimanfaatkan untuk investasi langsung di sektor produktif dan dengan demikian akan mendorong pertumbuhan ekonomi,

Kelima, sumber pertumbuhan ekonomi konvensional seperti sektor industri manufaktur dan pertanian sampai saat ini stagnan. Industri manufaktur terkendala birokrasi, bahan baku yang masih harus diimpor dan masalah  ketenagakerjaan (antara lain kebijakan upah minimum).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline