Lihat ke Halaman Asli

Dr. Nugroho SBM MSi

Saya suka menulis apa saja

Kontroversi Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan di Kota Semarang

Diperbarui: 13 Maret 2018   09:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Beberapa waktu yang lalu masyarakat Kota Semarang digegerkan dengan kenaikan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang mencapai 70% dibanding tahun lalu (2017). Kebijakan itu kemudian diralat dan kenaikannya hanya 30%.

Patut diapresiasi bahwa Pemkot Semarang merevisi penetapan PBB yang meresahkan masyarakat. Kenaikan yang semula 70% telah direvisi menjadi hanya 30%. Meskipun ini menimbulkan masalah kredibilitas kebijakan tetapi  di sisi yang lain revisi tersebut merupakan kepekaan pemerintah terhadap aspirasi masyarakat.

Adapun alasan dinaikkannya PBB  Kota Semarang, antara lain adalah: Pertama, Selama ini penerimaan PBB Kota Semarang selalu melebihi target yang ditetapkan. Tahun 2017 ditetapkan target PBB Rp 335.000.000.000,- dan tercapai realisasinya Rp 347.735.689.081 atau 103,91% dari target. Maka tahun 2018 ini  ditetapkan target Rp 376.000.000.000 atau naik 12% dibanding target tahun 2017. Hal ini dicapai dengan meningkatkan NJOP. 

Kedua, kenaikan itu hendak mewujudkan keadilan dalam perpajakan karena yang NJOP nya di bawah Rp 130 juta,- dibebaskan dari kewajiban membayar PBB (di sini pajak berfungsi sebagai alat pengatur ekonomi atau fungsi reguler yaitu menegakkan keadilan ekonomi dalam hal ini keadilan horisontal). Ketiga, kenaikan tersebut ingin lebih mengandalkan pembiayaan pembangunan secara lebih mandiri karena PBB merupakan pajak Kabupaten/Kota karena sumber pembiayaan lain seperti dana bagi hasil (di sini pajak berfungsi sebagai alat penerimaan atau menjalankan fungsi budgeter).

Mengandalkan penerimaan daerah dari PBB memang ada plus- minusnya. Plus dari PBB sebagai sumber pembiayaan pembangunan Kota Semarang antara lain: Pertama, masyarakat memang lebih senang sebenarnya membayar pajak daerah (Kabupaten/Kota) karena lebih bisa dirasakan manfaatnya dan kedekatan antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya (Teori Development from Below). Kedua, memperbesar kemandirian dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan semangat otonomi daerah atau desentralisasi fiskal.

Sedangkan minusnya antara lain: Pertama, PBB adalah pajak objektif (yang dikenai pajak adalah objek fisik berupa tanah dan bangunan). Keadilannya adalah keadilan horisontal. Ini berarti pengenaan PBB hanya berdasarkan nilai tanah dan bangunan tanpa memperhatikan pendapatan/penghasilan yang menghuninya. 

Inilah yang seringkali menjadi masalah dan dianggap oleh masyarakat tidak adil. Kedua, penilaian NJOP sebagai dasar pengenaan atau penetapan PBB biasanya adalah penilaian yang bersifat massal bukan individual. Seringkali yang dipakai adalah peta zona nilai tanah yang ditetapkan oleh BPN. Seringkali NJOP yang ditetapkan memang di bawah harga pasar sehingga secara bertahap dinaikkan sampai mendekati harga pasar. Apakah tidak mungkin dilakukan penilaian secara individual? Ketiga, seringkali juga untuk mengejar target PBB dilakukan "penyanderaan" terhadap wajib pajak, misal kalau mengurus surat di kelurahan atau kecamatan selalu disyaratkan bukti pelunasan PBB.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline