Dimuat di Jogjakarta-Jateng Pos, Rabu/19 Desember 2012 Achmad Yamanie menjadi hakim agung pertama di Republik Indonesia (RI) yang diberhentikan secara tidak hormat. Majelis MKH (Mahkamah Kehormatan Hakim) bentukan Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) memecat pria berusia 68 tahun tersebut karena terbukti melanggar kesepakatan bersama MA-KY terkait pedoman perilaku hakim. Kasus pemecatan ini bermula ketika PN Surabaya memvonis pemilik pabrik ekstasi Hengky Gunawan dengan 17 tahun penjara. Lantas, Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya menambah hukuman 18 tahun penjara. Bahkan kasasi MA memvonis dengan hukuman mati. Tapi kemudian majelis hakim agung Imron Anwari, Nyak Pha, dan Achmad Yamanie kompak membatalkan vonis mati lewat putusan PK (Peninjauan Kembali). Mereka hanya menghukum Hengky dengan 15 tahun penjara. Parahnya lagi, Yamanie kembali “mendiskon” putusan untuk gembong narkoba tersebut menjadi 12 tahun. Dalam sidang Majelis Kehormatan Hakim yang dipimpin Hakim Paulus Effendi Lotulung (Selasa, 11/12/2012) di Ruang Wiryono, Gedung MA, Jakarta. Yamanie membantah membubuhkan tulisan tangannya. Ia menyatakan tidak tahu siapa yang menuliskan. Tapi dalam berita acara pemeriksaan (BAP) internal MA, Yamanie terlanjur mengakui itu sebagai tulisan tangannya. Kecerobohan semacam itu nampaknya lazim dilakukan Achmad Yamanie. Misal ketika mengabulkan kasasi Jaksa Penuntut Umum (JPU) Martha Berliana Tobing terkait kasus Anand Krishna, Yamanie bersama Zaharuddin Utama dan Sofyan Sitompul juga alpa memeriksa putusan perkara bernomor 691 K/PID/2012 pada 24 Juli 2012 silam. Andi Saputra dari Detikcom menemukan kejanggalan dalam putusan kasasi MA terhadap Krishna Kumar Tolaram Gangtani. Dalam putusan tersebut, JPU mencantumkan kasus pidana merek sebagai salah satu alasan kasasi. Seperti termaktub dalam salinan putusan Anand Krishna yang diunduh Detikcom dari situs resmi MA (Rabu, 14/11/2012), pada halaman 38 muncul pertimbangan JPU mengajukan kasasi sbb: "Bahwa sebagai bukti bagi Judex Juris tentang tidak pedulinya Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat terhadap fakta hukum yang tertuang dalam tuntutan pidana kami dapat dilihat dari putusan yang dibuat oleh Judex Facti Nomor 20/Pid/2006/PT.Bdg tanggal 21 April 2006 yang tidak secuil pun menyinggung tuntutan pidana kami sehingga dengan demikian sungguh cukup beralasan demi tegaknya keadilan dan kepastian hukum untuk menganulir putusan Nomor 20/Pid/2006/PT/Bdg tanggal 21 April 2006 yang dibuat oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat." Ternyata nomor perkara 20/Pid/2006/PT.Bdg tanggal 21 April 2006 adalah sengketa pidana merek. Dalam berkas perkara MA tersebut, duduk sebagai terdakwa Erik Mulya Wijaya. Erik didakwa atas perbuatan yang melanggar pasal 24 ayat 1 UU No 5/1984 tentang Perindustrian. Di tingkat kasasi, Erik dihukum 2 tahun penjara karena menggunakan merek yang sama dengan merek yang terdaftar milik pihak lain. Anehnya, alasan kasasi JPU dalam perkara Anand Krishna ternyata muncul dalam salinan putusan Anand Krishna. Dalam salinan putusan Anand Krishna tersebut tertulis Panitera Pengganti adalah Dulhusin dan Panitera Muda Pidana MA Machmud Rachmi. Pertanyaannya, mengapa bisa muncul pertimbangan pidana merek versi JPU di putusan Anand Krishna? Mahfud MD berpendapat, “Itu kecerobohan yang sering sekali terjadi. Ada juga vonis seseorang dalam pidana umum yang pertimbangannya menggunakan kasus korupsi.” Senada dengan tesis Dr. Saldi Isra. Dosen hukum Tata Negara Universitas Andalas Padang itu pun menandaskan, “Putusan yang aneh, menjungkirbalikkan logika hukum, dan tidak konsisten. Yang jelas, ini bukan hasil karya sebuah mahkamah yang agung, tetapi hasil kreasi sebuah Mahkamah Ajaib (Kekuasaan dan Perilaku Korupsi, 2009). Selain Achmad Yamanie, sebelum didaulat menjadi hakim agung, Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam pernyataan Pers No: /PR/ICW/V/2005 sudah mewanti-wanti tegas menolak Zaharuddin Utama yang kala itu (2005) masih menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta. Ironisnya, gugatan tersebut tak dihiraukan MA sehingga dalam masa jabatan Zaharuddin Utama justru menerbitkan sederet putusan janggal dan kontroversial yang mencederai rasa keadilan masyarakat. Setali tiga uang dengan perbuatan Yamanie. Paska Achmad Yamanie dipecat oleh MKH, kini santer terdengar tuntutan masyarakat untuk memberhentikan rekan sejawatnya, Zaharuddin Utama. Kenapa? Karena Zaharuddin Utama (ZU) bersama rekannya, hakim agung Mansyur Kertayasa (MK) telah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dua hakim agung tersebut diduga menerima suap terkait diloloskannya peninjauan kembali (PK) atas politikus asal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Misbakhun. Hakim ZU dan MK masing-masing disinyalir menerima suap Rp 1,74 miliar dan Rp 2 miliar dalam bentuk dolar Amerika. Rekam Jejak Pada hemat penulis, salah satu parameter kredibilitas hakim agung ialah track record alias rekam jejaknya. ZU langganan membuat putusan janggal dan kontroversial. Antara lain dalam kasus Prita Mulyasari. Hakim agung Zaharuddin Utama dkk menyatakan Prita bersalah dan menghukum 6 bulan penjara dengan percobaan satu tahun penjara. Satu majelis hakim lainnya, hakim agung Salman Luthan membebaskan Prita. Saat itu, Imam Harjadi sebagai ketua majelis dan Zaharuddin Utama hakim anggota. Suara Salman yang menghukum Prita bebas kalah dalam voting. Prita menjadi terpidana kasus pencemaran nama baik RS Omni Internasional, Tangerang. Kemudian dalam kasus pembunuhan Alda Risma. Pada 2 Februari 2011 Hakim Agung Zaharuddin Utama dkk mengabulkan permohonan PK pembunuh artis Alda Risma, Ferry Surya Perkasa. Alhasil, Ferry yang sebelumnya diganjar 15 tahun penjara, mendapat diskon sehingga Ferry hanya diganjar 8 tahun. Alhasil, Ferry Surya Perkasa dibebaskan dari Lapas Cipinang pada 13 Mei 2011. Ferry menjalani pembebasan bersyarat setelah Imam Harjadi dan Zaharuddin Utama mengabulkan PK Ferry. Alda ditemukan tewas pada Rabu (13/12/2006) silam di kamar 432 Hotel Grand Menteng, Jakarta Pusat. Pelantun lagu ‘Aku Tak Biasa’ itu tewas over dosis akibat penggunaan obat-obatan terlarang. Di sekujur tubuh penyanyi asal Bogor, Jawa Barat, tersebut ditemukan 25 titik bekas suntikan. Ferry dinyatakan terbukti bersalah melakukan pembunuhan terhadap kekasihnya tersebut. Ia divonis majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur 15 tahun penjara pada 9 Agustus 2007. Kemudian masih lekat di ingatan kolektif kita tentang kasus Nenek Rasminah. Hakim agung Zaharuddin Utama dkk menghukum terdakwa Rasminah dalam kasus pencurian 6 piring dengan hukuman 130 hari penjara. Satu hakim agung yang juga ketua majelis, Artidjo Alkotsar, menghukum bebas karena menilai Rasminah tidak mencuri. Namun suara Artidjo kalah voting. Momentum pemecatan Yamanie dapat menjadi inisiasi bersih-bersih MA dari hakim (agung) korup. Sebab, ICW pun menyatakan Mahkamah Agung tercatat memberi vonis bebas terbanyak bagi koruptor. ICW mencatat selama 2008 sebanyak 277 terdakwa kasus korupsi atau 62,4 persen dari total 444 terdakwa, divonis bebas. Bahkan selama rentang 2005 sampai 2008, dari 1.442 terdakwa kasus korupsi yang terpantau, sebanyak 659 terdakwa kasus korupsi di antaranya divonis bebas. Koruptor seolah mendapat angin segar. Kendati demikian, aksi bersama pemberantasan korupsi bukan utopia. Asalkan MA mau berbenah diri. Pecat dan adili oknum-oknum di tubuh Mahkamah Agung yang terbukti menerima suap dan melanggar kode etik. Akhir kata, sepakat dengan pendapat Ketua KPK Abraham Samad dalam peringatan hari Anti Korupsi Internasional (9 Desember 2012), “Berani jujur itu hebat!” Kalimat ini sangat signifikan ketika dihubungkan dengan pemberantasan korupsi. Seluruh elemen masyarakat perlu menanamkan kejujuran dalam dirinya dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan para penegak hukum. Bukankah seorang hakim agung seyogianya berbudi luhur dan memberi suri tauladan bagi masyarakat? Salam keadilan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H