[caption id="attachment_95021" align="alignleft" width="296" caption="Mahatma Gandhi"][/caption]
Kasus hukum Anand Krishna bergulir laksana bola salju. Isu pelecehan seksual sekedar pintu masuk (entry point). Sebab nilai sensitifitasnya tinggi di negeri ini. Kini wacana yang dominan ialah penghakiman pemikiran progresif pendiri Yayasan Anand Ashram (YAA) tersebut.
Walau proses persidangan sudah berlangsung selama 5 bulan lebih, pembahasan seputar dakwaan awal hanya 10%. Yakni pelanggaran pasal 290 juncto pasal 294 juncto pasal 64 Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP). Selebihnya, melulu mengorek ihwal sepak-terjang tokoh humanis kelahiran 54 tahun silam tersebut.
Penutupan secara paksa Padepokan Spiritual Lintas Agama asal Indonesia pertama yang berafiliasi dengan PBB (2006) menjadi agenda utama. YAA didirikan oleh mantan pengusaha garmen itu 20 tahun silam, tepatnya pada 14 Januari 1991 di Sunter, Jakarta Utara.
Harapannya - ibarat ular - bila kepala dipotong otomatis kegiatan membangkitkan rasa cinta kepada Ibu Pertiwi guna mewujudkan tatanan Satu Bumi, Satu Langit dan Satu Umat Manusia (One Earth, One Sky and One Humankind) yang dimulai dari latihan meditasi dan pemberdayaan diri (Self Empowerment) di Bandar Lampung, Kepulauan Riau, Jakarta, Bogor, Bandung, Jogja, Solo, Semarang, Bali, Singapura, Australia, dan Lebanon terhenti.
Anand menyadari betul hal ini, sehingga melalui Tim Kuasa Hukumnya ia menegaskan, "Biarkan saya mati kalau memang itu yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang memunculkan dan membiayai kasus ini untuk membungkam suara kebangsaan, misi keharmonisan, dan kebhinekaan di Indonesia. Saya mohon kepada rekan semisi dan sevisi untuk melanjutkan perjuangan kita, dan tidak menyerah pada kekuatan-kekuatan yang sedang menghadang kita. Salam Kasih”"
Penulis 140-an buku itu menolak takluk. Ia tetap berjuang dari balik jeruji besi Rutan Cipinang. Terhitung sejak Rabu (9/3) hingga artikel ini ditulis (hari ke-6) Anand Krishna melakukan aksi mogok makan. Tak sebulir nasipun masuk ke perutnya. Mirip sekali dengan perjuangan ahimsa Mahatma Gandhi dan Martin Luther King Jr.
Bukan karena ‘ngambek’ ataupun menyerah kalah, tapi sebagai pembelajaran bagi kita semua. Protes bisa dilakukan secara elegan. Tanpa tindakan anarkistis yang mengganggu ketertiban umum. Seperti yang acapkali dipertontonkan oleh kelompok radikal pemuja paham kekerasan.
Menurut hemat penulis, mogok makan ialah alternatif paling rasional. Kenapa? karena walau sudah mengikuti tata persidangan secara kooperatif tanpa sekalipun mangkir tetap saja dijebloskan ke bui oleh Majelis Hakim jahat yang diketuai oleh Drs. Hari Sasangka, S.H, M. Hum di Pengadilan Negeri, Jakarta Selatan.
Luoise Fenner pernah mengisahkan perjalanan Martin Luther King Jr ke India (1959). Ternyata pejuang kesetaraan hak sipil di Amerika Serikat tersebut menimba inspirasi dari Sang Mahatma. Gandhi, Martin King Jr dan Anand Krishna meyakini bahwa perlawanan tanpa kekerasan sebagai senjata ampuh bagi kaum tertindas dalam meraih kebebasan dan keadilan.
[caption id="attachment_95044" align="alignnone" width="300" caption="Martin Luther King Jr"]
[/caption]