Raden Ngabehi Surakso Hargo (Mbah Maridjan)
Dimuat di Surat Pembaca Pontianak Post (Rabu 3 November 2010), Forum Pembaca Media Indonesia (Rabu 3 November 20100, dan Surat Pembaca Suara Merdeka (21 November 2010) http://www.suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=130660.
"Walaupun aku diremukkan sampai jadi abu, aku akan memelukmu dengan abuku."- Liu Xiaobo (Pemenang Nobel Perdamaian 2010)
Begitulah janji Liu kepada istri tercinta Liu Xia. Semangat aktivis prodemokrasi China tersebut sefrekuensi dengan pengabdian Mbah Maridjan. Walau nyawa menjadi taruhan dan hanya bergaji Rp 20.000/bulan beliau memegang teguh sumpah setia sebagai abdi dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sang Juru Kunci tak meninggalkan tanggungjawabnya menjaga Gunung Merapi hingga hembusan nafas terakhir.
Mbah Maridjan ibarat nahkoda kapal Titanic yang tenggelam ke dasar samudera bersama kapal dan para penumpangnya. Pada hari Rabu dinihari (27/10/2010) tim SAR menemukan jenasah Raden Ngabehi Surakso Hargo di salah satu kamar rumah mungilnya. Dalam posisi bersujud, mengenakan kain sarung dan kemeja batik. 15 jasad warga dan seorang wartawan juga ditemukan di sekitar lokasi tersebut. Semuanya mengalami luka bakar yang parah.
Ironisnya, ada opini yang memojokkan Mbah Maridjan. Bahkan tega menyebarkan foto kuil jiwanya yang hangus terbakar lewat internet. Sebab beliau dituduh ngeyel (keras kepala) tak mau meninggalkan kediamannya yang notabene hanya berjarak 5 km dari puncak Merapi. Padahal status Merapi sudah dinaikkan dari "siaga" menjadi "awas" oleh Badan Vulkanologi terhitung sejak hari Senin jam 06.00 WIB (25/10/2010). Seolah secara tidak langsung, beliau dianggap telah menyebabkan banyak korban berjatuhan.
Sebagai tokoh masyarakat Mbah Maridjan memang di-gugu dan di-tiru oleh warga setempat. Tapi beliau sudah memperingatkan sebelumnya, "Saya minta warga untuk menuruti perintah dari pemerintah, mau mengungsi ya monggo..." (Kedaulatan Rakyat, 26/10/2010). Saat itu, sebagian besar warga enggan mengungsi karena khawatir akan kehilangan nafkahnya. Tanaman di ladang dan hewan ternak di kandang merupakan sumber penghidupan mereka selama ini. Apakah pemerintah dan aparat setempat berani menjamin keamanan aset-aset tersebut?
Diperparah lagi dengan kondisi di penampungan yang begitu memprihatinkan. Seorang kawan relawan di Muntilan mengabarkan bahwa mereka kesulitan memperoleh masker. Kalaupun ada mereka harus membeli dengan harga @Rp 2.000. Sedangkan teman lain di Srumbung mengisahkan betapa tragisnya para bayi dan balita tidur tanpa selimut di tengah malam yang dingin. Apakah Yth. Presiden RI yang - saat tulisan ini dibuat pada tanggal 27 Oktober 2010 - sedang berada di China dan anggota DPR yang "piknik" ke Yunani mengetahui kondisi riil rakyatnya yang sedang dilanda bencana, baik di Merapi maupun di Mentawai (MM)?
Secara lebih mendalam, kita perlu memahami konteks historis dan kultural Sang Juru Kunci Merapi. Mbah Maridjan dilahirkan pada tahun 1927 (berarti beliau tutup usia pada 83 tahun) di Dusun Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Amanah menjadi abdi dalem diperoleh langsung dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada tahun 1982. Sebelumnya, ayahanda beliau, Mbah Hargo yang menjadi Juru Kunci sejak tahun 1970.
Gelar dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat bagi Mbah Marijan ialah Mas Penewu. Itu berarti beliau berhak memimpin prosesi Labuhan untuk memanjatkan doa dan mempersembahkan sesajen kepada Eyang Petruk. Salah satu tokoh Punakawan yang diyakini sebagai sing mbaurekso alias penunggu gunung Merapi. Sekaligus sosok magis pengayom masyarakat yang berdiam di kawasan lereng gunung berapi teraktif di dunia tersebut.