Electro Capacitive Cancer Therapy (ECCT) atau yang dikenal dengan rompi antikanker ciptaan Warsito Purwo Taruno. (Dian Maharani/Kompas.com)
Raja Idrus dan Ratu Markonah yang sebenarnya hanya tukang becak dan pelacur berhasil membodohi Presiden Soekarno. Kasus 'serupa' kembali terulang di pemerintahan selanjutnya. Di zaman Presiden Soeharto, lagi-lagi penipu kelas kakap berhasil masuk istana. Tapi korbannya “cuma” Wakil Presiden, Adam Malik. Begitu berita Detik (baca di sini).
Penipu kelas kakap ini bernama Cut Zahara Fona, perempuan asal Aceh yang tidak lulus SD. Namun ia memiliki ide jenius yang bisa membohongi orang se-Indonesia. Perempuan ini mengklaim janin yang ada di perutnya bisa bicara bahkan mengaji. Kabar aneh itu tentu menggegerkan masyarakat. Cut Sahara pun diundang ke istana Wakil Presiden, agar Adam Malik dapat mendengar suara mengaji dari “bayi ajaib” yang ada di dalam perut wanita ini… Perdebatan sampai pada satu orang yang berani bersuara berbeda. Dr. Herman Susilo, Kakanwil Depkes DKI Jakarta. “Nonsense, tak mungkin janin bisa berbicara,” katanya… Entah bagaimana Wakil Presiden waktu itu berkelit untuk menutupi mukanya yang merah padam.
Lalu, pada masa Presiden SBY, muncullah kisah Blue Energy, Energi Biru, yang konon bisa menghasilkan minyak mentah dari air, memberi energi berlimpah ruah tanpa susah, tanpa banyak uang dan tenaga. Saya juga lupa bagaimana Presiden waktu itu berkelit untuk menutup rasa malunya yang luar biasa. Kalau saya dibodohi, ok saja; orang bodoh. Tapi presiden, lambang suatu negara, dengan deretan pembantu yang profesor doktor terpilih, dan masih bisa dibodohi mengenai suatu hal yang tidak masuk akal, itu keterlaluan!!
Jaket Antikanker
Kini muncul lagi satu kasus yang berpotensi membikin Presiden Jokowi mengalami nasib serupa. Jaket anti-kanker…! Kalau dulu kasusnya melibatkan orang bodoh, sekarang yang terlibat adalah doktor fisika (bukan dokter) lulusan Jepang, yang konon terkenal di sana, dengan seratusan publikasi ilmiah bidang fisika… Alangkah sayangnya kalau sampai penemuannya yang luar biasa itu “diambil” oleh orang luar negeri, dan negara Indonesia hanya gigit jari. Maka sederetan pejabat, orang penting, dan menteri pun maju. Mantan Presiden B.J. Habibie telah memberi penghargaan padanya. Menteri Riset dan Perguruan Tinggi segera mendukungnya secara penuh! Menteri Kesehatan bingung, longok kanan kiri, dan ambil putusan yang membikin para dokter garuk-garuk kepala. IDI yang sangat penting itu diam saja, tidak berani bersuara, cari selamet. Dan efek semua ini (baik atau buruk) nanti jatuhnya adalah pada Presiden Jokowi yang sangat saya hormati.
Kalau benar nanti terbukti bahwa jaket itu begitu luar biasa, dapat mengobati kanker dengan biaya yang relatif murah, dan bikin sembuh, sehingga pengobatan kanker jadi terjangkau rakyat kecil, maka nama Jokowi akan melambung tinggi. Hal yang sebaliknya akan membuat namanya yang harum itu masuk dalam comberan bau bacin limbah buangan isi usus… Karena apa? Karena dua menterinya terlibat di sini. Dalam masalah ini, Kantor Staf Presiden dan juru bicaranya juga perlu ikut berpikir, karena menyangkut nama baik Presiden.
Karena itu, Presiden Jokowi perlu amat berhati-hati. Ini pertaruhan besar. Saya tidak berkata Presiden Jokowi akan dibohongi. Tapi berpotensi disebut oleh media “dibohongi,” seperti halnya Presiden SBY dulu.
Membuang Sebagian Masalah
Jadi ada masalah. Bagaimana cara termudah mengatasi masalah? Gampang… Buanglah sebagian masalah. Salah satu kebingungan para menteri tadi adalah, nanti kalau paten teknologi Jaket Anti Kanker tadi dicuri orang luar negeri, terutama Jepang, bukankah akan merugikan negara Indonesia tercinta ini? Banyak orang tidak tahu apa paten itu. Tapi kalau pejabat tinggi negara yang seharusnya tahu tapi tidak tahu paten, hanya ada satu kata: menyedihkan!
Paten adalah ide (berupa produk atau proses) yang didaftarkan untuk dilindungi pemerintah suatu negara. Ide tadi tidak perlu “bermanfaat”, dan tidak harus “terbukti”. Anda bisa mendaftarkan mangkok plastik yang ditempel duit koin aluminium, dengan klaim “untuk menangkap nyamuk dengan mudah.” Tidak ada alasan Direktorat Hak Cipta suatu negara untuk menolaknya karena itu cuma khayalan (coba search Google “absurd patents” dan lihat paten bodoh konyol yang didaftarkan di AS). Jadi, suatu paten sama sekali bukan bukti bahwa suatu penemuan itu benar-benar “bermanfaat, dan terbukti bekerja dengan baik.”
Sebaliknya, kalau suatu ide tadi sungguh-sungguh bermanfaat, berguna, dan berpotensi ekonomi luar biasa, adalah sangat bodoh kalau ide atau penemuan tadi tidak dipatenkan. Karena penemuannya akan dilindungi di negara tersebut. Sama sekali tidak ada yang perlu ditakutkan lagi. Tidak patut ada lagi kata “takut dicuri orang luar.” Bantu saja mendaftarkan paten tadi di 148 negara. Juga, jangan coba-coba bikin seminar dan teriak-teriak akan dipatenkan. Lewat masa 6 bulan, penemuan tadi tidak dianggap baru lagi dan tidak dapat diberi paten. Nah...
Jadi, soal Jaket Anti Kanker itu, lihat saja apakah sudah ada paten untuk itu atau belum. Kalau belum, sungguh bodoh, dan tidak ada artinya memikirkan hal yang mustahal itu. Kalau sudah ada paten, biarkan ribuan peneliti luar negeri meneliti lagi apa benar-benar bermanfaat (kalau tidak bermanfaat, biar rakyat negara lain yang sengsara, bukan kita). Kalau benar bermanfaat dan menguntungkan, perusahaan-perusahaan luar tentu akan memakai teknologi tadi. Dan penemu Indonesia ini akan mendapat royalti, keuntungan besar dari penemuannya dan patennya. Saya doakan agar 100 trilyun rupiah masuk ke penemu tadi (yang dengan sendirinya masuk ke aset Indonesia) berkat penemuan itu. Jadi paten sama sekali bukan untuk diumpetin untuk main ciklukba, atau disembunyikan, tapi disebarluaskan. Begitu setahu saya, mungkin saja saya salah.