Lihat ke Halaman Asli

“Akal-akalan” untuk Melanggengkan Status “Kontrak” pada Karyawan

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_236738" align="alignnone" width="283" caption="Ilustrasi diambil dari www.rosalindaoroh.wordpress.com"][/caption] Pada umumnya menjadikan karyawan dalam status karyawan tetap atau permanent masih dirasakan sebagai beban bagi sebagian perusahaan, banyak hal yang menjadikan perusahaan merasa lebih nyaman memiliki karyawan dalam status "kontrak", hal mana telah saya ulas pada tulisan saya sebelumnya.

Namun demikian di sisi lain perusahaan juga cukup paham mengenai resiko hukum dengan memperkerjakan karyawan "kontrak" tanpa batas atau menerapkannya pada hubungan kerja yang seharusnya “permanent”. Pada perkembangannya “kesadaran” yang demikian ini melahirkan beberapa praktek "akal-akalan" untuk mensiasati hukum dan kondisi tsb di atas.

Praktek pertama yang paling sederhana dalam mensiasati kondisi yang demikian tsb adalah, dengan mengganti secara berkala karyawan yang mereka pekerjakan. Perusahaan hanya akan memperkerjakan karyawan kurang dari dua tahun dalam satu periode penerimaan karyawan malah bisa terjadi dalam tempo kurang dari satu tahun sudah dilakukan penggantian karyawan. Praktek yang demikian ini diterapkan untuk posisi pekerjaan yang simple dan skill yang rendah, jadi secara tehnis apabila diganti dengan karyawan yang baru tidak akan menemui kesulitan dalam "transfer knowledge" tentang bagaimana pekerjaan dijalankan.

Praktek akal-akalan yang kedua adalah kurang lebih sama hanya lebih "cerdik" lagi dalam memainkan masa kerja dalam satu periode "kontrak". Pat gulipat jenis ini dimainkan dengan tujuan, pertama didapatkan masa kontrak yg sesingkat-singkatnya apabila seorang karyawan ybs dinilai "reject" sehingga perusahaan tidak perlu memutus kontrak ditengah jalan tapi cukup menunggu masa kontraknya habis, namun demikian apabila karyawan yang sama dianggap produktif dan tidak "neko-neko" masa kontrak bisa dioptimalkan tanpa harus terjebak oleh frekwensi maksimal perpanjangan kontrak yang ditentukan oleh UU.

Tekhnisnya kurang lebih bisa saya jelaskan sebagai berikut, pada saat karyawan baru menandatangani "kontrak" yang pertama, masa kontrak yang disepakati adalah 6 bulan, yakni dari 1 Jan s/d 30 Jun 2009. Tapi oleh perusahaan kontrak tertulis tsb tidak diserahkan kepada karyawan dengan alasan-alasan administratif. Saat habis masanya perusahaan dapat tidak memperpanjang kontrak tsb apabila karyawan dianggap "reject", tapi apabila dinilai sebaliknya karyawan akan diminta menandatangani kontrak lanjutan yang masa kontraknya dihitung mundur dari masa kontrak pertama s/d masa 6 bulan berikutnya, yakni dari 1 Jan s/d 31 Des 2009, dan otomatis kontrak lanjutan yang seharusnya adalah termasuk kontrak kedua dengan cara-cara tsb tetap tercatat sebagai kontrak pertama.

Suatu keuntungan bagi perusahaan, karena dengan demikian kontrak karyawan masih bisa diperpanjang sekali lagi oleh perusahaan tanpa harus melalui proses pembaharuan kontrak yang sedikit lebih merepotkan bagi perusahaan.

Selanjutnya adalah praktek yang ketiga, ini lazimnya dilakukan untuk mensiasati ketentuan maksimal masa kontrak yang diperbolehkan oleh UU yakni hanya 3 tahun atau 5 tahun apabila melalui proses pembaharuan kontrak. Ketika perusahaan harus memperkerjakan karyawan dengan skill tinggi dan muatan pekerjaan yang lebih rumit, maka akan menjadi persoalan apabila frekwensi penggantian karyawanpada posisi tsb terlampau cepat dan sering. Problemnya biasanya di proses ”transfer knowledge”, akan membutuhkan suatu program training yang intensif dan merepotkan untuk memoles sebegitu banyak karyawan baru hingga memiliki kemampuan yang sama dengan karyawan yang lama. Sedangkan kalau karyawan lama tetap dipertahankan dengan pola “kontrak” yang “polos”, maka akan terbentur dengan ketentuan maksimal masa kontrak yang diperbolehkan, padahal apabila karyawan lama yang telah teruji tsb lebih lama dipekerjakan, perusahaan akan lebih banyak memiliki waktu dalam mensiasati proses penggantian karyawan dengan tanpa mengganggu operasional perusahaan maupun kualitas SDM yang akan dipekerjakan.

Untuk mengakali hal yang demikian, banyak cara yang bisa dilakukan perusahaan, secara singkat bisa dijelaskan sebagai berikut :

  1. Tetap dengan menerapkan praktek akal-akalan yang kedua seperti diuraikan di atas.
  2. Apabila masa kerja kontrak telah mencapai tiga tahun, maka akan dilakukan pembaharuan kontrak untuk bisa mendapatkan masa kontrak baru selama dua tahun lagi. Namun terdapat persoalan menyangkut harus dipenuhi syarat masa tenggang waktu 30 hari, syarat mana karyawan harus benar-benar tidak melakukan hubungan kerja dengan perusahaan selama jeda 30 hari tsb. Hal ini pasti akan mengganggu operasional perusahaan, untuk mengatasinya biasanya perusahaan akan memperkerjakan lembur karyawan yang masih ada untuk menutup kekurangan tenaga kerja tsb. Malah ada yang lebih “naif”, selama masa tenggang waktu 30 hari tsb ada perusahaan yang memperkerjakan karyawan yang sama dengan status harian, menurut anggapan perusahaan pola hubungan kerja “harian” adalah hubungan kerja yang “invisible” dan bukan termasuk yang dimaksudkan oleh peraturan ketenagakerjaan. Setelah masa 30 hari tsb terlewati kemudian karyawan akan resmi terikat kontrak baru selama dua tahun berikutnya.
  3. Akan tetapi ini belum selesai, bagaimana kalau ternyata perusahaan masih memerlukan beberapa karyawan tertentu yang dipandang memegang posisi kritis di produksi atau operasional perusahaan, padahal masa kerja kontrak plus dengan pembaharuannya telah mencapai masa maksimal yakni 5 tahun. Untuk mengatasinya ada cara yang lebih “abunawas” lagi yang bisa dilakukan, yakni dengan melalui upaya persuasi dan motivasi yang mahir, perusahaan akan meminta kepada karyawan-karyawan tsb untuk seolah-olah mengundurkan diri sebelummasa kontrak berakhir, dan setelah melewati jeda 2 – 3 hari berikutnya, karyawan tsb seolah-olah diposisikan sebagai karyawan baru dengan menyertakan Surat Lamaran Kerja lengkap lengkap dengan lamirannya. Maka dengan demikian lamanya masa kerja dan frekwensi perpanjangan kontrak dihitung mulai dari nol lagi yang memungkinkan dilakukan pengulangan proses pat gulipat seperti yang dijelaskan di atas.

Praktek yang keempat berikut ini adalah cara yang paling canggih, karena permainannya bukan lagi dipersoalan “menggoreng” kontrak karyawan, tapi lebih kepada bagaimana caranya memutus kontak secara langsung dengan karyawan. Cara yang lazim digunakan adalah mengalih dayakan sebagian besar proses kerja kepada perusahaan outsourcing tenaga kerja. Dengan cara ini hubungan hukum yang terjalin bukan lagi antara Perusahaan dengan karyawan, tetapi sudah antar perusahaan. Dalam pola hubungan kerja “outsourcing” ini yang terjadi adalah proses pemborongan pekerjaan, yang biasanya masa perjanjiannya selama satu tahun dengan pengulangan perjanjian bisa berkali-kali sepanjang perusahaan masih beroperasi.

Umumnya perusahaan bisa menjalin kerja sama outsourcing hingga dengan 2 perusahaan outsourcing sekaligus, yang dalam proses pemenuhan kebutuhan tenaga kerjanya bisa di atur secara bergantian diantara kedua perusahaan outsourcing tsb. Malah ada beberapa perusahaan yang benar-benar “berani modal” dengan mendirikan perusahaan outsourcing sendiri, disamping dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan mereka, diharapkan juga perusahaan tsb dapat berkembang dan menjadi sumber pendapatan baru bagi pemiliknya.

Model praktek dan cara tsb di atas nampaknya memiliki tingkat “keamanan” yang tinggi dan kemudahan pengendalian dalam mensiasati hukum dan kondisi-kondisi tsb di atas, karena praktis perusahaan mendapatkan beberapa keuntungan sbb :

  1. Perusahaan tidak akan pernah terjebak dalam kewajiban untuk memiliki karyawan permanent dalam jumlah besar.
  2. Perusahaan tidak perlu memusingkan masalah ketentuan maksimal masa kontrak.
  3. Dari sisi operasional management HRD, penanganannya lebih simple dan mudah.
  4. Perusahaan terhindar dari resiko hukum dalam bentuk “perselisihan” dengan karyawan secara langsung.
  5. Biaya “head account” relatif lebih murah, utamanya dalam jangka panjang.

Selanjutnya kita sampai pada satu pertanyaan, apakah dari sisi ketentuan hukum yang berlaku praktek-praktek tersebut di atas dapat dibenarkan. Untuk menjawabnya penulis akan sedikit membahasnya dari sisi standard normatifnya.

Dalam praktek pertama hingga praktek ketiga nampaknya sesuatu tindakan yang seolah-olah dibenarkan oleh ketentuan ketenagakerjaan apabila dilihat dari sisi formalitas bagaimana “kontrak” tsb diterapkan pada suatu hubungan kerja. Namun apabila dilihat dari sisi “materiil”nya bisa dikatakan tak ada satupun dari ketiga praktek tsb dapat dibenarkan apabila tidak memenuhi syarat ketentuan berikut ini seperti yang diatur dalam Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 Juncto Kepmenaker No. KEP.100/MEN/VI/2004 :

Ikatan hubungan kerja dalam bentuk “kontrak” hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :

  1. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
  2. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
  3. Pekerjaan yang bersifat musiman, yakni suatu pekerjaan yang kegiatannya bergantung pada musim, termasuk di dalamnya adalah pekerjaan tambahan yang bersifat sementara oleh sebab adanya peningkatan order atau pesanan atas suatu jenis produk barang;
  4. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan;

Maka dengan demikian, apabila pekerjaan yang ditangani tsb di atas adalah suatu pekerjaan yang menjadi kegiatan sehari-hari di dalam perusahaan yang bersangkutan baik pekerjaan “supporting” maupun “operasional” dan bersifat berulang secara kontinyu, maka bisa dipastikan adalah bukan termasuk jenis pekerjaan yang diperbolehkan oleh UU dikerjakan oleh Karyawan dengan status “kontrak”. Hal ini akan cukup memiliki konswekuensi hukum yang kuat untuk dinyatakan, demi hukum status hubungan kerja antara karyawan dengan perusahaan berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu atau yang biasa kita sebut karyawan permanent (Pasal 59 (7) UU No. 13 Tahun 2003).

Hal yang serupa nampaknya terlihat pada praktek siasat yang keempat di atas, yang mana adalah sesuatu yang terlihat wajar ketika perusahaan dengan mengatasnamakan “efektifitas kontrol dan management yang lebih efisien”, kemudian mengalihdayakan sebagian besar kegiatan operasional perusahaan pada perusahaan outsourcing, apalagi proses alih daya tersebut ketentuannya memang di atur di dalam UU No. 13 Tahun 2003, yang pada kelanjutannya ternyata bukan hanya efektifitas dan efisiensi saja yang didapat, tetapi keuntungan yang signifikan dari hilangnya kewajiban yang seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan.

Persoalannya menjadi terang ketika kita lebih jujur menyimak ketentuan ketenagakerjaan dari sisi muatan atau materiilnya. Pengalihdayaan pekerjaan dan fungsi tsb di dalam UU No. 13 Tahun 2003 di atur di dalam pasal 64, pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan pasal 66 (terdiri dari 4 ayat), yang secara pokok memberikan arahan dan rambu-rambu yang di antaranya adalah :

  1. Pengalihdayaan pekerjaan kepada perusahaan outsourcing diperbolehkan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan.
  2. Pekerjaan yang dapat dialihdayakan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sbb :
    1. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama perusahaan.
    2. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari perusahaan yang mengalihdayakan.
    3. pekerjaan yang dialihdayakan adalah kegiatan penunjang secara keseluruhan
    4. pekerjaan yang dialihdayakan tidak menghambat proses produksi secara langsung
  3. Karyawan perusahaan outsourcing dilarang digunakan untuk menjalankan pekerjaan pada kegiatan utama atau kegiatan kerja yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
  4. Apabila ketentuan dan hal tsb di atas tidak dipenuhi oleh perusahaan, maka demi hukum status hubungan kerja karyawan outsourcing tsb beralih dari perusahaan outsourcing menjadi karyawan perusahaan yang memborongkan pekerjaan tsb.

Jadi sebenarnya cukup jelas bagaimana kita akan menilai apakah yang dilakukan oleh beberapa perusahaan dengan strategi outsourcing-nya melanggar hukum atau tidak, bahkan tanpa melalui suatu proses telaah hukum yang canggih. Pada kenyataannya di lapangan cukup banyak memberikan suatu realita bahwa justru bagian pekerjaan yang dialihdayakan adalah kegiatan utama suatu perusahaan, bahkan bisa dikatakan posisinya terbalik, kegiatan-kegiatan penunjang dari proses produksi seperti misalnya bagian accounting dan finance justru dijalankan oleh karyawan dengan status permanent.

Akhirnya kita sampai pada satu pertanyaan pamungkas, kalau memang benar secara standard normatif semua praktek tsb di atas melanggar hukum, bagaimana bisa hingga saat ini di beberapa perusahaan yang nakal masih berjalan. Apalagi bila persoalan ini kita kaitkan dengan prinsip yang lebih mendasar dari hukum kontrak, yang mana kontrak-kontrak semacam ini bisa dinyatakan cacat hukum mengingat syarat obyektifnya tidak dipenuhi yakni isi kontrak tidak boleh bertentangan dengan UU, Ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1320 KUHPerdata), bahkan terkait dengan hal ini menurut pendapat penulis Perjanjian Kerja Sama Outsourcing sebetulnya bisa dianggap batal dengan sendirinya (nietig) bukan hanya sekedar “vernietigbaar”. Tapi persoalannya memang tidak sesederhana itu apalagi untuk bisa memberikan jawaban yang tuntas, banyak realita dilapangan yang justru menyatakan sebaliknya.

Realita yang pertama adalah, hukum perburuhan termasuk dalam ranah Hukum Perdata, pada proses peradilannya terdapat satu ciri khas bahwa dalam prosesnya hukum akan bersikap pasif. Artinya siapa yang mendalilkan suatu hak harus berjuang keras bahwa ia memang memiliki alas hak yang cukup untuk menuntut sesuatu, meskipun di UU jelas tertulis bahwa benar itu memang menjadi hak mereka. Jadi meskipun kita semua tahu bahwa yang dilakukan perusahaan-perusahaan tsb adalah melanggar hukum, kalau ternyata karyawan yang dirugikan tidak mengajukan gugatan sama sekali atau tidak mengerti cara mengajukan gugatan yang benar, maka tidak akan ada suatu tindakan yang konkrit untuk bisa merubah keadaan.

Realita yang kedua adalah, meskipun termasuk dalam ranah Hukum Perdata yang bersifat private, tapi Hukum Perburuhan menganut prinsip “Tripartitj” yakni adanya campur tangan pemerintah yang sangat kuat dalam proses pembinaan dan pengawasannya. Namun pada kenyataannya peran pemerintah untuk mengontrol hal yang demikian sangat lemah, hal mana salah satu alasan yang sering dikemukakan adalah kurangnya tenaga Pengawas dari Kantor Disnaker setempat untuk melakukan pengawasan-pengawasan semacam itu.

Realita yang terakhir adalah, diakui atau tidak kondisi-kondisi yang digambarkan di atas adalah salah satu daya tarik Perusahaan Asing berinvestasi di negeri kita. Apabila ternyata kemudian “keadilan” memenangkan laga, sehingga praktek outsourcing tsb di atas dihapuskan dan berganti status menjadi karyawan permanent, bagaimana kira-kira sikap yang akan diambil oleh para pengusaha asing tsb. Bisa jadi sebagian besar dari mereka akan hengkang dari tanah air, untuk di kawasan Asia masih banyak beberapa negara lain yang tenaga kerjanya rela dibayar murah.

Berat memang…….., seperti ironi yang tak berujung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline