Beberapa hari yang lalu saya menyaksikan sebuah acara di stasiun televisi swasta yang bercerita tentang seorang tukang sampah berperawakan tinggi besar berkebangsaan Inggris. Tukang sampah, yang bernama asli Wilbur ini berkesempatan untuk menjalani magang menjadi tukang sampah di sebuah negara berkembang, sebut saja Indonesia. Ya, Indonesia, mengapa Indonesia?
Disebutkan dalam acara tersebut bahwa Indonesia, terutama kawasan Jakarta adalah salah satu tempat dengan populasi terpadat di dunia. Hampir tidak ada hari libur di kota metropolitan ini. Hampir setiap hari aktivitas ekonomi berjalan di kota ini.
Hasil sensus penduduk pada tahun 2010 menyebutkan bahwa jumlah penduduk tetap Jakarta mencapai 9,608 juta jiwa dan pada tahun 2011 mencapai 10,187 juta jiwa. Bayangkan, dengan luas wilayah yang hanya 740,3 km², Jakarta dihuni puluhan juta manusia, belum lagi ditambah penduduk tidak tetap yang berasal dari sekitar Jabodetabek yang datang mencari nafkah di siang hari setiap harinya, bisa dibayangkan betapa padatnya Ibu Kota Negara Indonesia ini.
Dengan kondisi yang demikian ini, datang pula berbagai masalah yang mencengkeram Jakarta, yang paling kita kenal adalah masalah macet dan banjir. Sebenarnya ada masalah lain yang menjadi momok bagi warga Jakarta, seperti yang telah kita bahas pada paragraf pertama, masalah itu berhubungan dengan tukang sampah. Ya, apalagi kalau bukan sampah?
Masalah sampah sebenarnya adalah masalah yang sama yang dihadapi oleh semua kota besar di dunia, beberapa kota besar di Indonesia turut andil dalam permasalahan tersebut, sebut saja Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan lain sebagainya.
Sampah merupakan masalah kependudukan yang mungkin sangat sulit untuk diatasi, terutama di negara-negara berkembang. Setiap aktivitas di dalam kehidupan manusia pasti menghasilkan sampah, baik yang berukuran mikro maupun makro. Sampah bisa merupakan hasil konversi energi dari suatu aktivitas manusia atau juga sisa dari bahan-bahan yang diperlukan untuk menunjang aktivitas manusia. Tak perlulah kita bahas mengenai definisi dan pembagiannya secara terlalu ilmiah, karena yang saya angkat disini adalah permasalahan sosialnya, dampak dari aktivitas masyarakat, dan juga dampaknya bagi masyarakat.
Dalam acara tersebut, berkali-kali disebutkan bahwa terdapat kesenjangan sosial yang sangat tinggi di Ibukota Indonesia, Jakarta. Bayangkan saja, di sebuah kawasan perkantoran dan apartemen, terdapat sebuah perkampungan yang sangat kumuh, tempat hampir semua masyarakat seitar membuang sampahnya. Ya, tepat di bawah gedung-gedung megah nan bertingkat, masyarakat kecil mengais rezekinya dari tumpukan sampah.
Wilbur, yang menjadi tokoh utama dalam acara tersebut diperkenalkan dengan seorang warga lokal bernama Imam, yang berprofesi sebagai tukang sampah juga. Wilbur diberi kesempatan magang bersama Imam selama seminggu untuk menjadi tukang sampah Jakarta. Dan tampak disana bahwa tidak semua hal berjalan sesuai harapan Wilbur. Ternyata kondisi sampah perkotaan Jakarta lebih parah dari yang pernah Ia bayangkan. Bayangkan, hampir setiap bangunan di jakarta menghasilkan sampah setiap harinya, dan mereka harus membantu untuk mengambil dan memindahkannya keluar dari bangunan tersebut setiap hari. Dalam satu kesempatan, Wilbur pernah berkata bahwa truk sampah tercanggih di Jakarta, belum ada setengahnya teknologi truk sampah di negara asalnya, Inggris.
Mitos bahwa masyarakat Indonesia yang terkenal ramah pun, dengan mudah dijungkirbalikan dengan berbagai fakta di acara tersebut. Perilaku ‘oknum’ warga kepada kedua tukang sampah barusan pun, tak ubahnya layak disetarakan dengan sampah. Tak ada bantuan, tak ada senyuman, dan tak ada ucapan terimakasih sedikit pun. Selain membawa sampah berbentuk fisik, sampah berupa perlakuan ‘oknum’ warga yang tidak pantas pun harus mereka terima setiap harinya.
Masalah sampah ini bukan hanya masalah fisik dan infrastruktur, tapi juga masalah sosial, masalah moral dan perilaku. Setiap kegiatan dan aktivitas manusia pasti menghasilkan sampah, namun bagaimana cara manusia mengelolanya, itu yang membedakan antara manusia di negara maju dan berkembang. Hampir tak pernah kita temukan sudut-sudut kota yang dipenuhi sampah di sebuah negara maju. Begitupun hampir tak pernah kita temukan individu-individu yang dengan seenaknya membuang sampah dimana saja di sebuah negara maju, kecuali kalau kita berpendapat bahwa itu turis asal Indonesia, hehehe.
Mirisnya, banyak sekali kita dapati sudut-sudut kota yang dipenuhi dengan sampah di negeri tercinta ini, berbagai macam manusia dengan mudahnya menganggap bahwa dengan membuang sampahnya ke jalanan, urusan selesai. Hal itu pula yang pernah saya alami dengan beberapa kerumunan orang di suatu taman kota. Orang-orang tersebut terlihat dengan asiknya berkumpul untuk membahas suatu kegiatan. Makanan, minuman dan rokok menjadi teman penambah semangat di acara kumpul-kumpul tersebut, dan sudah tentu bahwa kegiatan tersebut menghasilkan sampah. Mirisnya mereka membuang sampah-sampah tersebut secara sembarangan, dan yang lebih mengiris hati adalah melihat kenyataan bahwa tempat sampah berukuran cukup besar tidak lebih dari 5 meter jauhnya! Dan tidak ada yang mengingatkan! Itu adalah sedikit potret kehidupan masyarakat “perkotaan” di Indonesia, dengan caranya mengelola sampahnya sendiri. Barangkali jika ada Wilbur disitu, kerumunan orang tersebut akan dibubarkannya dengan membabi buta, hehehe.
Masalah sampah ini merupakan masalah yang kompleks. Terbatasnya infrastruktur untuk mengelola sampah diperparah dengan perilaku masyarakat yang ‘sakit’ menambah besar masalah sampah di negara ini. Solusinya bisa dimulai dari keduanya, peningkatan infrastruktur yang memadai dan yang paling penting: Perbaikan karakter masyarakat.
Jika kita melihat ke depan, masalah sampah ini sebenarnya bisa kita selesaikan, asalkan ada kerjasama positif dari pihak penyelenggara pemerintahan dan masyarakat itu sendiri. Dari sisi manajemen industri, ketersediaan bahan baku sangat menunjang kapasitas produksi suatu barang, didukung dengan tersedianya sumber daya teknologi dan manusia yang mumpuni. Sayangnya, ketersediaan bahan baku mentah kadang-kadang bisa menjadi faktor penghambat produksi. Kebanyakan bahan baku industri berasal dari sumber yang terbatas, baik yang terbarukan seperti: hasil perkebunan dan pertanian, ataupun yang tidak terbarukan seperti: minyak bumi, hasil pertambangan mineral, dan lain sebagainya.
Kenapa tidak terpikirkan oleh kita untuk memanfaatkan sampah sebagai bahan baku mentah di dalam sektor industri? Wacana 3R(Reduce-Reuse-Recycle) yang marak dikampanyekan pemerhati lingkungan tampaknya belum menyadarkan kita.
Sampah merupakan investasi yang tidak terbatas jumlahnya. Setiap kegiatan manusia menghasilkan sampah. Rata-rata ‘penghasilan’ sampah di kota-kota besar bisa mencapai kisaran 10 ton setiap harinya. Kenapa tidak terpikirkan untuk menghasilkan barang-barang berguna dari sampah? Kenapa tidak terpikirkan untuk memajukan sektor industri berbahan baku sampah? Bahkan perindustrian pun menghasilkan sampah bukan? Itu artinya semakin tidak terbatas pula jumlah bahan baku yang tersedia untuk menunjang perindustrian.
Dengan mengubah cara pandang kita terhadap sampah, ketersediaan sampah bisa menjadi sebuah investasi yang tidak terbatas yang bisa memberikan keuntungan dalam pengelolaannya. Sampah yang keadaannya diremehkan, suatu saat bisa menjadi barang berharga yang memberikan manfaat di tangan-tangan bijaksana umat manusia.
Sedikit gambaran di atas seharusnya menjadi tamparan keras bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat kota besar dengan berbagai permasalahan sampahnya. Bagaimana sebuah stasiun televisi luar negeri berani menyoroti permasalahan sampah di negara seperti Indonesia ini. Acara ini setidaknya menggambarkan pandangan masyarakat dunia terhadap permasalahan-permasalahan di negara-negara lain. Untuk Indonesia, masalah itu bernama sampah.
Sudah saatnya generasi muda Indonesia berbenah dan bangkit untuk mengembalikan kesadaran betapa pentingnya menjaga kondisi lingkungan kita. Sudah saatnya generasi muda menjadi solusi dari setiap permasalahan bangsa dan negara ini, salah satunya tentang sampah.
“Jika tidak bisa memberikan solusi dari suatu masalah, setidaknya jangan menjadi bagian dari masalah.”
oleh: Nugraha Ramadhan / @nugraharmdhn
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H