Lihat ke Halaman Asli

Nugraha Wasistha

Penulis lepas

Jangan Membaca Konspirasi Sambil Minum Kopi

Diperbarui: 26 April 2021   07:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar dikutip dari Pxhere

Siapa sih jaman sekarang yang tidak pernah mendengar teori konspirasi. Malah tak sedikit yang menganggapnya teori yang seksi, mencerdaskan dan mencerahkan. Secara instan pula. Cukup sekali baca teori itu, kita akan menganggap fisikawan, astronom, sejarawan, arkeolog, maupun epidemiolog adalah kaum kolot yang ketinggalan jaman.

Tidak usah jauh-jauh. Belakangan banyak kita-kita yang percaya bumi itu datar, walau ilmuwan besar muslim terdahulu seperti Al Biruni dan Al Khawarizmi justru mengatakan bulat. Tidak sedikit pula yang meyakini bahwa covid-19 itu cuma prank, walau penebar isunya adalah orang-orang seperti Bill Mitchell - yang suka menjelekkan kaum muslim. Tak sedikit pula yang percaya bahwa negara-negara besar cuma pura-pura berseteru sambil proksi-proksi senjata, walau Pak Hikmahanto Juwana perasaan tidak pernah bicara seperti itu.

Tapi kita tidak perlu rendah diri. Amerika saja tidak lebih baik. Bahkan bisa jadi lebih parah. Januari kemarin, ribuan orang menyerbu gedung Capitol karena percaya Biden mencurangi pemilu dengan alat canggih pesanan Hugo Chaves. 

Bulan Februari lalu seorang programer meledakkan diri dalam mobilnya karena percaya Amerika sudah dikuasai manusia kadal. Dan Maret lalu banyak serangan terhadap warga keturunan Asia - termasuk dari Indonesia - karena dianggap pihak yang menyebarkan virus Corona.

Sebenarnya konspirasi bukanlah teori baru. Dari dulu sudah banyak buku-yang membahas berbagai variasinya. Dari kepanjangan nama band rock AC/DC, sepak bola adalah senjata psikologis untuk melemahkan bangsa non-barat, sampai Rockefeller adalah dalang segala bencana (Bill Gates masih berupa cairan saat itu). Tapi dulu teori-teori ini belum populer. Setelah jaman medsos dan WAG, barulah varian terbarunya bisa masuk ke kamar semua orang.

Kalau diperhatikan, ada persamaan latar belakang mereka yang dirasuk teori konspirasi ini. Rata-rata berpendidikan, tapi wawasannya terbatas pada bidang yang mereka tekuni. Ini sesuatu yang wajar sebenarnya. 

Coba, berapa banyak di antara kita yang tidak kuliah di HI tapi hobi baca buku geopolitik. Atau, berapa banyak orang yang tidak kerja di lab tapi keranjingan baca buku biologi molekuler. Kalau pun ada, biasanya akan dianggap kurang kerjaan. Atau bahkan stress. Iya kan?

Dengan kondisi demikian, pada saat kebanjiran teori konspirasi, tak ada referensi apapun di kepala yang bertindak sebagai sekering. Tak ada pembanding yang akan membuat kita spontan bilang, "Ah, ngaco!" saat membacanya. Dengan unsur manipulatif yang kuat, siapapun yang menyimak teori ini pasti berseru, "omaigat-omaigat-omaigaaatt...tunggu sampe temen-temen di grup baca ini!"

Contoh paling baik tentu saja adalah mantan presiden Trump. Di satu sisi dia adalah pengusaha papan atas - jika kita mau melupakan laporan IRS atau investigasi New York Times. Tapi ternyata wawasannya cuma papan bawah. Buktinya, dia bilang bahwa George Washington (yang hidup jaman orang masih naik kuda) pernah merebut bandar udara. Dia juga bilang bahwa perang dunia II berakhir gara-gara semua tentara menggigil kena wabah.

Dengan wawasan amburadul seperti ini, tidak heran dia ternyata juga penggemar teori konspirasi. Dari awal dia percaya korona adalah akal-akalan demokrat, menghina siapapun yang memakai masker, dan meremehkan rekomendasi epidemiolog. Bahkan setelah Amerika sukses jadi negara dengan angka kematian tertinggi di dunia, dia tetap saja ngeyel ini-itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline