Lima tahun berlalu. Seluruh negeri ini sudah tahu keberadaannya. Yah, mereka mungkin tidak tahu siapa dia sebenarnya. Tapi tak ada lagi yang asing dengan peran yang dia mainkan.
Sebagian memanggilnya jagoan penumpas kejahatan. Yang lain menyebutnya superhero lokal. Lucunya, tak sedikit yang menganggap dirinya satria piningit - sosok ratu adil yang ditunggu-tunggu.
Tapi justru yang terakhir inilah yang mengubah arah perjuangannya.
Selama ini Sancaka hanya bisa menumpas penjahat kelas teri. Perampok, jambret, copet, gerombolan bermotor, dan sejenisnya. Paling banter pedagang narkoba. Mustahil buatnya menangani yang kelas kakap. Macam pejabat korup atau makelar proyek. Belum yang namanya mafia anggaran. Apalagi mafia hukum. Mereka semua memiliki kekuatan yang tidak bisa dilawan superhero seperti dirinya. Kekuatan finansial. Fulus! Dengan itu mereka bisa membeli apapun. Termasuk hukum dan keadilan.
Situasi ini membuat Sancaka galau. Dia merasa seperti seekor harimau yang cuma bisa memburu tikus curut. Menggelikan dan sia-sia. Hal ini dia ungkapkan pada Ridwan Bahri, wakil rakyat yang berjasa memberinya kostum superhero nan keren. Mereka berdua sudah menjadi sahabat karib sekarang. Berkali-kali Sancaka curhat dan meminta nasehat padanya.
Sahabatnya itu tersenyum simpatik mendengar keluhannya. "Aku bisa mengerti perasaanmu, Sancaka. Dengan kekuatan supermu, seharusnya kau bisa berbuat lebih baik untuk bangsa kita. Sesuatu yang benar-benar bisa membuat perubahan. Dan kurasa memang ada jalan untuk melakukannya."
Sancaka tentu saja penasaran. "Bagaimana caranya?"
"Tanggalkan kostum superhero itu dan bukalah identitasmu. Lalu pada pemilu mendatang, calonkan dirimu jadi presiden. Hanya jabatan itu yang memungkinkan dirimu membuat perubahan. Aku yakin reputasimu sebagai superhero akan jadi magnet elektabilitas yang besar. Semua partai akan saling sikut untuk mendukungmu jadi calon mereka. Dan rakyat yang sudah lama menantikan seorang ratu adil bisa melihat sosok itu pada dirimu. Aku yakin kau akan menang mudah melawan siapapun."
Sesaat Sancaka merasa sahabatnya hanya bercanda. Superhero jadi Presiden? Benar-benar ide paling menggelikan yang pernah dia dengar. Tapi pikir punya pikir, mungkin ada benarnya. Hanya itu satu-satunya jalan yang bisa dia tempuh. Menyangkalnya berarti melepas kesempatan berbuat hal besar pada negaranya. Sesuatu yang mungkin akan disesalinya nanti.
"Kurasa gagasanmu itu boleh juga, Sobat," akhirnya Sancaka berkata setelah terdiam sekian lama. "Tapi aku lebih percaya diri untuk melakukannya jika kau mau mendampingiku sebagai wakil presiden. Kau punya pengalaman. Kau tahu luar-dalam politik kita. Bimbinganmu akan sangat berharga buatku."