Lihat ke Halaman Asli

Nugraha Wasistha

Penulis lepas

Renungan Sang Bapak

Diperbarui: 13 Maret 2021   22:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar dari Pxhere

Dia tahu ini akan terjadi. Cepat atau lambat. Dia terlalu cendekia untuk tidak menyadari. Meski tak pernah disangkanya akan secepat ini. Dia cukup terkejut, kalau tidak mau dibilang terguncang. Biar bagaimana pun dia sudah tua. Dan belum lama perasaan kehilangan itu menggores hatinya. Dan sekarang mereka hendak merampas belahan jiwanya yang lain.

Ini bukan pertama apalagi yang terakhir. Sejarah sesak dengan peristiwa serupa. Tak pernah ada kawan abadi. Yang abadi adalah kepentingan. Dia lebih suka menyebutnya kekuasaan. Dan uang. Utamanya uang. Ah, Cicero. Filsuf ini mungkin tak seterkenal Machiavelli. Tapi bunga-bunga pikirannya juga terus bergaung. Bahkan pada jaman yang seharusnya lebih beradab seperti sekarang.

Tapi mengerti dan mengalami ternyata berbeda. Dia hampir-hampir tak percaya melihat betapa kemunafikan mereka perlihatkan terang-benderang. Orang-orang itu sekarang berani mencakarinya, menjelekkan namanya. Padahal dunia belum lupa bagamana mereka dulu merubung dan menyanjung dirinya. Dulu, saat kekuasaan masih tercium dari pori-porinya.

Hm, jadi beginilah yang dirasakan Caesar saat melihat Brutus - yang diangkatnya sebagai anak - justru jadi pemegang pisau yang membunuh penguasa Romawi tersebut. Et tu, Brute? - kau juga, Brutus? - itu adalah pertanyaan yang terus keluar dari tahta yang memudar. Dia sekarang bertanya. Seperti pendahulunya dulu juga pernah bertanya hal yang sama.

Mungkinkah itu karma? Hatinya cukup lapang untuk menerima kemungkinan itu. Meski sebagian egonya berusaha menepis. Bahwa apa yang dilakukannya dahulu masih sebatas etika. Menempatkan diri sebagai korban untuk mendapatkan kekuasaan tentunya berbeda dengan menikam dari belakang. Bukankah demikian?

Entahlah. Dia masih kesulitan meyakinkan dirinya sendiri. Di satu sisi, dia tahu dahulu itu dia sudah berusaha keras. Agar tetap dalam ambang kesopanan. Tapi jika tetap ada yang merasa terkhianati olehnya, siapakah yang akan didengar Tuhan? Pembelaannya ataukah yang merasa dia khianati? Entahlah. Entahlah....

Anehnya, kalau pun ini adalah karma, dia tidak merasa getir. Sebaliknya, dia justru lega. Jika ini adalah hukuman buat muslihatnya di masa lalu, maka biarlah. Lebih baik menebusnya sekarang di dunia daripada di hadapan Tuhan.

Lagipula, sejarah juga mengajarkan satu hal lainnya. Tak pernah ada nasib baik buat orang-orang seperti mereka. Dan juga bagi siapa pun yang membiarkan ini terjadi. Ada lembaran-lembaran warta yang menumpuk selama dua dasa warsa terakhir. Orang hanya perlu membuka semuanya untuk mengetahui hal itu. Dia tidak perlu membalas. Mereka sendiri sudah menaruh bara di kepala masing-masing.

Dengan pikiran demikian, dia merasa tenteram. Diputarnya kembali lagu kesayangannya. Frank Sinatra melantunkannya dengan baik. Senyum dan air mata menerbit di wajahnya. Secara bersamaan.

.......

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline