Lihat ke Halaman Asli

Nugraha Wasistha

Penulis lepas

Revolusi Mental ala Pancalogi Fast and Furious

Diperbarui: 10 Maret 2021   19:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar dikutip dari kompas.com

Pancalogi film ini sebenarnya inspiratif lho. Terutama buat mereka yang buka usaha kuliner. Paling tidak, membuktikan bahwa lesehan yang mau gulung tikar bisa dibikin ramai lagi dengan mengganti menu yang tepat.

Demikian juga dengan film bertema keluarga ini. Keluarga preman bermobil, maksudnya. Dulunya sudah mau dihentikan karena penontonnya makin sedikit. Tapi berkat keberanian untuk berubah, maka kesuksesan yang diraih justru lebih besar dari perkiraan.

Tapi kok pancalogi? Kan filmnya sudah ada delapan? Malah sebentar lagi jadi sembilan. Harusnya minimal windulogi dong!

Tidak. Memang Pancalogi. Karena saya menghitungnya dari Fast Five sampai nanti F9: The Fast Saga. Lha kenapa cuma itu yang dihitung? Karena kelima sekuel inilah yang menandai revolusi mental besar-besaran yang dijalani film ini, sampai menjadi franchise tersukses dari Universal Studios.

Padahal kalau menonton lagi film pertamanya, The Fast and The Furious, lalu kita bandingkan dengan film kedelapan, The Fate of The Furious, rasanya seperti membandingkan foto sahabat kita saat masih kecil barengan main kelereng, dengan foto dia sekarang di Syria sambil menenteng pelontar granat. Ga nyangka pokoknya.

Film perdananya memang lebih bergenre drama-aksi. Konon terilhami dari kisah nyata tentang komunitas balap liar di kalangan warga hispanik. Tapi plotnya sendiri lebih mirip film '80-an berjudul Point Break yang dibintangi Patrick Swayze dan Keanu Reeves. 

Cuma film ini latarnya bukan geng mobil tapi komunitas surfing. Selebihnya mirip. Tentang agen federal yang disusupkan ke organisasi kriminal tapi akhirnya malah jadi sohib. Dan seterusnya. Dan sebagainya.

Tentu saja atmosfer ceritanya masih sederhana. Masih berusaha realistis. Operasi besarnya paling cuma nyolong video player. Tak ada urusan dengan bom nuklir. Petualangannya juga masih di tetangga sebelah saja. Belum sampai ke ujung dunia. Dan senjata rahasianya masih sebatas tabung NOS buat memacu mesin biar bisa lebih kencang. Tapi tidak sampai terbang.

Singkatnya, film itu masih khusus dibuat untuk empat macam penonton. Penggemar otomotif, pelaku balap liar, dan mereka yang masih percaya hukum gravitasi. Dua sekuel berikutnya juga masih bertahan dengan resep serupa. Mungkin maunya mempertahankan tradisi.

Sayangnya, idealisme ini dibayar dengan pendapatan yang terus menurun. Seri ketiganya, Tokyo Drift - yang kadar dramanya paling tinggi, justru paling rendah pendapatan domestiknya. Cuma 50 juta dollar. Ini angka sudah tergolong receh untuk ukuran Holywood.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline