Lihat ke Halaman Asli

Kritik untuk Sekolah

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13940903751423599138

[caption id="attachment_298829" align="alignright" width="319" caption="Di ruang kelas ini, anak-anak akan belajar tentang kehidupan. Tapi hidup mereka hanya sebatas ruang kelas"][/caption]

Dua hari yang lalu, aku bersama tim youthcamp mengunjungi kak Dandy dirumahnya. Kami ingin mendiskusikan banyak hal. Pada pertengahan diskusi, ia menceritakan pengalaman ketika bertanya pada seorang anak SMA.
"Sekolah seperti apa yang kau inginkan?"
Aku tersentak, lalu menelusuri lorong masa lalu.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku menjalaninya selama tiga tahun. Kenangan tentangnya telah berlalu lima tahun. Tentang sekolah, tentang hari dengan seragam putih abu-abu. Memori selama duduk di bangku SMA masih melekat diingatan. Tahun-tahun yang menguras perasaan itu datang silih berganti. Seolah ku rasakan puncak waktu di mana dunia memusuhi ku.
Tahun pertama harus ku kejar dengan tergopoh-gopoh. Seolah kedua kaki tak mampu menjadi penopang kala aku berdiri. Yang ku rasakan kala itu, aku butuh pondasi. Namun tak ku temukan. Tahun awal yang bercampur keangkuhan dan kejatuhan diri. Tahun itu, dunia begitu kejam.
Sebenarnya, tak ada alasan logis menyalahkan kehidupan. Diri ini seperti bayang yang berada dalam pusaran. Mengikuti arus ke mana ia kehendaki. Saya harus merelakan banyak waktu untuk mengejar yang lain. Waktu belajar tersita oleh latihan ekstrakurikuler. Kala kelelahan ruang kelas menghampiri, pelarianku pada tempat bimbingan belajar. Jika guru ku tak manjawab kebingunganku, kantin sekolah adalah tempat paling sempurna. Saat ujian begitu menakutkan, tempat pergaulan menjanjikan banyak hal. Inilah tahun yang penuh pelarian.
Di tahun ini, aku menilai bahwa tak semua orang respek pada kegiatan ekskul. Beberapa guru di sekolah malah mencibir. Kegiatan hingga larut malam, nilai yang anjlok, hingga fenomena pacaran menjadi alasan terkuat untuk menjatuhkan. Dan alasan ini pun sampai terdengar ke telinga orangtuaku. Imbasnya, sejumlah kegiatan tak boleh lagi ku diikuti.
Pelarian selanjutnya adalah buku dan pergaulan. Jenis bacaanku hanya ada dua, novel dan komik. Tempat pergaulan, apalagi kalau bukan mall. Kebiasaan tawaf dari mall ke mall itu seperti rutinitas wajib. Dan hari senin adalah hari wajib diantara yang wajib. Bioskop di mall menawarkan 'nomat' atau nonton hemat. Berhamburanlah para putih abu- abu menyambangi gedung dengan layar lebar itu.
Namun waktu berkata lain, pergolakan hati terjadi juga rupanya. Ingin rasanya ku berontak. Aktivitas ini tak memberi banyak hal kecuali koleksi tiket film. Aku harus bagaimana? Inikah kategori kenakalan remaja seperti yang disebut oleh pelajaran sosiologi kami? Lantas, mengapa kami disebut nakal?
Beberapa teman mulai mencoba untuk mengisap merokok, narkoba, minuman keras, membawa senjata tajam, tawuran, mencoret-coret dinding kelas, bolos sekolah, dan banyak lainnya. Kala musim ujian tiba, banyak dari kami seperti hilang ingatan. Pelajaran beberapa minggu mengendap begitu saja. Tak terhitung jumlahnya metode menyontek jawaban yang kami tahu. Terkadang, kami terpaksa harus merasakan yang namanya tak lulus ujian. Saat di bangku SMP, tak mungkin rasanya aku bisa mengalami yang seperti ini. Toh ternyata, ku alami juga.
Ruang kelas menjelma menjadi sebuah sosok gelap yang menakutkan. Udara begitu sesak. Dan aku menjadi ciut. Tapi hati memberontak. Seolah yang ku lalui setiap hari bukanlah menjadi bagian sistem pendidikan. Untuk apa sekolah hadir? Harusnya sekolah hadir untuk mengatasi apa yang kami rasakan, harusnya sekolah menjadi tempat yang membahagiakan untuk dikunjungi.
Sekolah yang ku jalani tidak menjadi selayaknya sekolah. Jam pelajaran ekstra lalu menjadi wajib. Les sore hari seperti penyitaan waktu bagi semua aktifitas lainku. Aku seperti diperingatkan untuk tak boleh melakukan apa pun selain, belajar. Seolah belajar hanya ketika berada di ruang kelas, berkutat dengan pena dan buku, mencatat hingga ujian. Aktifitas lain tidak dinilai sebagai sebuah pembelajaran. Apalagi seabrek ekstrakurikuler, semuanya tak berarti.
Entah harus ku adukan ke mana setiap pemberontakan hati. Guru konseling terkadang tak solutif bagi jiwa kreatifku. Terlebih pada pelajaran agama. Aku malah tak menemukan jalan keluar dari permasalahan yang ku hadapi. Agama hanya sebatas pelajaran kelas, berjilbab berarti nilai baik, dan ikut kegiatan mesjid menjadi nilai sempurna. Aku menjalaninya. Berharap menemukan titik terang. Namun yang ku temukan adalah kegelapan. Bagaimana mungkin pelajaran keagamaan adalah sejarah berdarah, perang dan saling bunuh. Aku memutuskan tak ingin memakai jilbab. Kakak kelas yang setiap senin pagi pasca upacara memberi kultum di kelas, tak ku dengar. Bagaimana mungkin mereka berbicara agama tapi disaat yang sama, mereka pacaran. Aku tak percaya agama. Bahkan diam-diam, aku menjadi setengah-atheis, begitu sebutanku.
Ini seperti waktu tersulit yang ku jalani. Saat aku harus belajar mati-matian untuk lulus ujian masuk SMA, setelah berhasil, aku hanya mendapat hal yang tidak positif. Aku mendapati hidup ini seperti dua kutub magnet, saling menolak. Entah untuk apa hidup ini ku jalani.
Tanyakan pada mereka yang berseragam SMA tentang tujuan bersekolah. Terkhusus tanyakan mengapa mereka juga bersekolah di tempat yang sama dengan yang ku pilih. Jawaban kami pragmatis. Sekolah kami keren, unggulan, dan jadi kebanggaan tersendiri ketika lulus. Namun alasan itu tak satu pun kan didapati di sana. Sekolah yang katanya memadukan keyakinan, pengetahuan, dan tingkah laku ini tak berhasil memberi contoh.
Jiwa muda kami sebenarnya tengah memberontak. Larangan dimana-mana, tanpa alasan yang jelas. Instruksi disetiap tempat dan waktu menghiasi relung kami. Jangan salahkan ketika banyak yang terperosok pada pergaulan tidak pantas bagi beberapa orang. Karena sebenarnya, kami hanya mencari jawaban.
Entah ini salah siapa, tak ada yang mau mengaku. Inilah dampaknya sekarang. Kamilah yang menanggung akibat dari perbuatan yang tak bertanggungjawab ini. Kamilah korban sistem pendidikan tidak jelas akan ke mana arah hidup kami. Sambil berharap, jawabannya bukan karena ingin mencari kerja. Mereka yang merumuskan tentang pendidikan adalah orang-orang bodoh yang tak tahu tentang pendidikan yang sebenarnya.
Hati kami menangis, menjerit dan berteriak.
Hanya itu yang mampu kami lakukan.
*silahkan lihat tulisan ini di www.eksistensiperempuan.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline