Lihat ke Halaman Asli

Buku yang Mengasah Bulu Kuduk Sensitif

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul: Puisi dan Bulu Kuduk.Penulis: Acep Zamzam Noor. Penerbit: Nuansa Cendekia. Cetakan I, Juni 2011.Tebal: 290 Halaman. Harga Rp 48.000.

PUISI yangbagaimana yang bisa disebut puisi yang baik? Bagi para akademisi, yang khatam dengan teori sastra, jawabannya bisa panjang dan mungkin rumit. Tapi bagi penyair Acep Zamzam Noor, yang mengaku tidak memiliki latarbelakang pendidikan sastra, puisi yang baik adalah puisi yang menggetarkan pembacanya, tak peduli apakah itu puisi cinta atau protes, puisi pendek atau panjang, mudah atau sulit dipahami, ditulis wanita atau lelaki.

Pendek kata,bagi Acep ukurannya adalah bulu kuduk. “Jika saya membaca sebuah puisi dan saya merasa bergetar hingga bulu kuduk saya merinding, apalagi jika tubuh saya sampai menggigil, maka puisi yang saya baca itu adalah puisi yang baik. Puisi yang baik bisa memberikan pengaruh kepada pembacannya,”tulis Acep.

Pendapat acep memang terkesan bukan rumusan yang definitif seperti biasa dikemukakan para akademisi. Acep sendiri menyebut caranya menikmati puisi agak “ngawur”.

Tapi justru di sinilah salahsatu kelebihan Acep dalam buku ini. Terkesan apa adanya, kocak, tapi juga mengena. Perhatikan juga, misalnya, Acep akan merasa terganggung oleh nama penyair yang lebih menesankan nama seorang ketua partai, kepala desa, satpam, atau bidan, meskipun sebenarnya puisinya lumayan.

“Saya selalu tergoda untuk mengubah nama-nama penyair muda yang rasanya kurang pas sebagai nama penyair,” begitu pendapatnya.

Mengenai bgaimana proses kreatif menulis puisi, Acep pun membandingkannya dengan proses pembuatan batu akik. Menulis puisi, seperti membuat batu akik, akan melalui banyak tahapan, mulai dari menatah, membentuk dengan gerinda, hingga mengampelas sampai halus. Soal sesuai dengan tingkatan permukaan ampelas, mulai yang paling kasar sampai yang halus sekali. Baik menulis puisi maupun membuat batu akik, menurut Acep, memerlukan kekhusukan, kesabaran, ketulusan, serta kecintaan terhadap apa yang dikerjakan.

Nah, pendapat-pendapat menggelitik ini hanyalah secuplik dari sekian banyak isi kepada penyair asal Tasikmalaya ini yang terangkum dalam buku Puisi dan Bulu Kuduk. Ada tidak kurang 26 judul tulisan dalam buku ini, mulai dari paparannya mengenai puisi, apresiasinya terhadap sejumlah puisi dan penyair, hingga tuturan tentang proses kreatif Acep sendiri.

Tulisan-tulisan dalam buku ini sebagian pernah dimuat di media massa, sebagian merupakan pengantar antologi penulis lain, ada juga yang merupakan makalah pada workshop dan seminar. Karena buku ini merupakan kumpulan tulisan yang semula tersebar dan berasal dari kurun yang bisa sangat berjauhan, tidak terhindarkan adanya pengulangan pada beberapa tulisannnya. Namun secara umum tidaklah mengurangi kebernasan pemikiran Acep.

Kemasan buku ini terkesan klasik, dengan gambar sampul menampilkan wajah Acep dengan pola arsir. Dilengkapi dengan kata pengantar dari Jabob Sumardjo, buku ini memang terkesan “serius”. Namun kesan serius itu dicairkan, pertama, oleh judul buku sendiri, dan, kedua, oleh isinya.

“Dengan bulu kuduk yang sensitif saya akan gampang jatuh cinta pada apa saja dan siapa saja. Dan dengan seringnya jatuh cinta, tentu saja puisi akan mengalir dengan sendirinya,” tulis Acep.(Her) Sumber: Tribun Jabar 9 Oktober 2011.

Nuansa Cendekia, penerbit buku umum Bandung. twitter @penerbitnuansa.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline