Kisah pagar Laut di pantai kabupaten Tangerang, Banten membikin atmosfer publik heboh. Sejak awal Januari, penemuan pagar laut yang membentang sejauh 30,16 kilometer sangat misterius. Beragam pertanyaan muncul, Untuk apa itu dibangun, tidakkah itu membatasi nelayan untuk melaut?
Pagar laut tersebut terdiri dari bambu-bambu yang ditancapkan ke dasar laut. Berbagai pihak berwenang, mulai dari pemerintah daerah hingga pemerintah pusat, turun tangan untuk menangani masalah ini. Beberapa pihak mengaku terlibat dalam pembangunan pagar laut tersebut, sementara yang lain membantahnya. Silang sengkarut terus terjadi.
Siapa yang memberikan izin, siapa yang membangun, perlu modal besar untuk membangunnya, Tentu sangat liar pemikiran orang mengenai kasus itu. Dugaan pun bermunculan, Tidakkah ini ingin mendapatkan tanah secara murah dengan menyerobot pantai? Jawabannya bisa ya. Biasanya mekanismenya seperti ini. Dipagari dahulu, dibuatkan sertifikat tanah atas nama seseorang atau perusahan, setelah sekian lama, lalu diurug dengan tanah (reklamasi), lalu dibuat Gedung bertingkat, dan taman hiburan, atau dibuat perlindungan habitat laut, sebagai gimmik kalau begini, maka permainan , oligarki, pemodal, penguasa, serta sindikat jual beli sertifikat di jajaran penguasa dengan pemodal terjadi, ketika rakyat bergerak dalam sekala kecil, pihak keamanan digerakkan, dengan membayarnya, dibangun opini ini itu dan penegak hukum juga disuap. Jadilah mendapatkan tanah dengan biaya murah, mulus bukan?
Dibangun opini, bagi mereka yang bijak, narasinya seolah untuk membela, . Pembangunan pagar laut ini bertujuan untuk mengatasi masalah abrasi pantai dan melindungi daerah pesisir dari dampak perubahan iklim, seperti naiknya permukaan air laut. Pagar laut ini juga berfungsi untuk melindungi wilayah daratan yang padat penduduk dan berkembang pesat, seperti Tangerang, dari potensi banjir rob yang dapat merusak infrastruktur dan kehidupan masyarakat. Benarkah? Entahlah.
Akan hadir, sang permerhati lingkungan berteriak, dengan konstruksi opini menarik, seperti pembangunan pagar laut tersebut bisa berdampak pada ekosistem pesisir yang kaya akan kehidupan laut, seperti mangrove, yang berfungsi sebagai pelindung alami dari erosi dan sebagai habitat bagi berbagai spesies laut. Selain itu, ada kekhawatiran terkait dengan akses masyarakat pesisir yang bergantung pada sumber daya laut untuk mata pencaharian mereka, seperti nelayan tradisional, yang mungkin terpinggirkan atau terhalang oleh pembangunan pagar tersebut. Terakhir semuan nelayan yang terpinggirkan itu, direkkrut jada satpam, atau tukang parkir. Selesai sudah.
Lihatlah kasus Pulau Serangan di Bali yang kini semakin ramai. Awalnya melalui reklamasi, tetapi sekarang masyarakat yang tinggal di sana semakin terpinggirkan, meskipun pihak PT Bali Turtle Island Development (BTID) selaku pengelola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kura Kura Bali membantah hal tersebut. Warga yang selama ini tinggal di Desa Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Bali, mulai merasakan dampaknya. Nama Pantai Serangan di Google Map kini berubah menjadi Pantai Kura Kura Bali (Surf Surf by The Waves), dan nama Jalan Pulau Serangan juga berubah menjadi Jalan Kura Kura Bali. Selain itu, pedagang yang biasa berjualan di kawasan tersebut kini terancam, dan ada kekhawatiran terkait gangguan terhadap aktivitas umat Hindu, karena di sana terdapat situs pura yang dianggap suci(https://elshinta.com/).
TESIS TENTANG "OCEAN GRABBING"
Kasus pagar laut ini seakan membenarkan tesis , Bennett, N. J., Govan, H., & Satterfield, T. (2015). Dalam artikelnya yang menarik dengan judul, Ocean grabbing.yang dimuat dalam jurnal Marine Policy, 57, 61-68, tesisnya adalah tentang " Ocean grabbing" ini tepat, untuk dipetakan pada kasus Pagar laut yang lagi heboh itu, lalu apa yang dimaksud dengan Ocean grabbing?