Ilmu kognitif atau Cognitive science mulai banyak dibicarakan setelah Prof. Stella Christie, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendikti Saintek), dilantik oleh Presiden Prabowo.
Stella Christie (lahir 11 Januari 1979) adalah seorang akademisi dan ilmuwan kognitif asal Medan, Sumatera Utara, Indonesia, yang saat ini menjabat sebagai Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Ia menyelesaikan gelar sarjana di Harvard University dan meraih gelar Ph.D. di bidang psikologi kognitif dari Northwestern University. Selain itu, ia juga merupakan profesor di Tsinghua University, Beijing, China, di mana ia menjabat sebagai Research Chair di Tsinghua Laboratory of Brain and Intelligence dan Direktur di Child Cognition Center. Stella juga merupakan anggota Dewan Pengurus Cognitive Science Society dan berperan aktif sebagai penasihat di bidang sains dan pendidikan untuk Pemerintah Indonesia.
Prof. Stella, yang memiliki keahlian di bidang ilmu kognitif, muncul dalam perbincangan. Publik.Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan ilmu kognitif, dan apa saja yang dipelajari dalam disiplin ini?
Ilmu Kognitif merupakan cabang ilmu yang bersifat interdisipliner, yang mempelajari pikiran dan berbagai proses mentalnya. Ilmu ini mengkaji sifat, fungsi, dan tugas kognisi secara umum. Fakultas-fakultas mental yang menjadi perhatian para ilmuwan kognitif meliputi bahasa, persepsi, memori, perhatian, penalaran, dan emosi. Untuk memahami berbagai aspek ini, para ilmuwan kognitif mengintegrasikan pengetahuan dari berbagai bidang, seperti linguistik, psikologi, kecerdasan buatan, filsafat, neurosains, dan antropologi. Penelitian dalam ilmu kognitif biasanya mencakup berbagai tingkat organisasi, mulai dari proses belajar dan pengambilan keputusan hingga logika dan perencanaan; dari sirkuit saraf hingga organisasi modular otak. Salah satu gagasan dasar dalam ilmu kognitif adalah bahwa "proses berpikir dapat lebih dipahami melalui struktur representasi dalam pikiran dan prosedur komputasional yang bekerja pada struktur-struktur tersebut."
Pencarian trends cognitive science dalam laman google schoolar, menunjukkan jumlah penelitian yang sangat besar yakni sekitar 5.100.000 hasil. Bidang ini sangat diminati dn terus berkembang pesat.
Ilmu kognitif menghadapi masalah representativitas, di mana sebagian besar penelitian dilakukan pada populasi yang terpelajar dan terindustrialisasi. Sebuah tinjauan terhadap 10 tahun penelitian lintas budaya menunjukkan kemajuan dalam mengatasi masalah ini, tetapi penelitian masih terbagi secara bimodal antara penduduk kota terpelajar dan populasi kecil di pedesaan. Sepanjang dekade ini, telah terjadi kemajuan dalam pemahaman kognisi individu (misalnya persepsi, penalaran), kognisi interpersonal (teori pikiran, kepribadian), dan kognisi sosial (pembelajaran sosial, norma, kerja sama, moralitas). Model formal pembelajaran sosial dan evolusi budaya semakin meningkatkan pemahaman kita tentang mekanisme yang mendasari variasi dan kesamaan manusia, tetapi kita masih jauh dari penjelasan yang memadai tentang sifat manusia dan universalitas kognitif manusia. Tanpa ilmu kognitif yang lebih inklusif, gambaran kita tentang kognisi manusia akan tetap tidak lengkap.
Salah satu tujuan utama ilmu kognitif adalah untuk memahami kognisi manusia, namun kesimpulan kita didasarkan pada sampel yang tidak representatif dari populasi dunia. Gelombang baru ilmu kognitif lintas budaya telah berupaya mengatasi hal ini dengan studi yang semakin luas, skala, dan visibilitasnya. Dalam artikel ini, saya meninjau keadaan gelombang baru penelitian ini. Gambaran kognisi manusia yang muncul adalah variasi pada tema yang sama, dengan kapasitas khas spesies yang dibentuk oleh budaya dan pengalaman individu. Gelombang baru ini telah memperluas pemahaman kita tentang proses yang mendasari variasi manusia dan perubahan budaya kumulatif, termasuk mekanisme pembelajaran sosial dan transmisi budaya. Namun, konsensus yang lebih sedikit tercapai mengenai dasar kognitif dari sifat manusia. Janji dari ilmu kognitif lintas budaya tidak akan terwujud sepenuhnya kecuali kita terus lebih inklusif terhadap populasi dunia dan berusaha untuk mendapatkan gambaran kognitif yang lebih lengkap tentang spesies kita.
SEJARAH COGNITIVE SCIENCE
Ilmu kognitif muncul sebagai sebuah gerakan intelektual pada tahun 1950-an yang dikenal dengan revolusi kognitif. Meskipun demikian, gagasan-gagasan yang mendasarinya dapat ditelusuri hingga teks-teks filsafat Yunani kuno, seperti karya Plato, serta Meno dan De Anima oleh Aristoteles. Para filsuf modern seperti Descartes, David Hume, Immanuel Kant, Benedict de Spinoza, Nicolas Malebranche, Pierre Cabanis, Leibniz, dan John Locke, meskipun sebagian besar tidak membaca karya-karya Aristoteles, menentang skolastisisme dan menggunakan alat serta konsep yang berbeda dari yang digunakan oleh ilmuwan kognitif masa kini.
Akar budaya modern ilmu kognitif dapat dilacak kembali pada para cybernetician awal pada tahun 1930-an dan 1940-an, seperti Warren McCulloch dan Walter Pitts, yang berupaya memahami prinsip dasar pengorganisasian pikiran. McCulloch dan Pitts mengembangkan varian pertama dari apa yang sekarang dikenal sebagai jaringan saraf buatan, sebuah model komputasi yang terinspirasi oleh struktur jaringan saraf biologis.