Di tengah pandemi yang tak kunjung usai, sulit bagi pemerintah menentukan keputusan. Terutama pada sektor pendidikan yang tak kunjung tatap muka. Telpon genggam,hingga saat ini salahsatu alat agar bisa mengikuti kegiatan sekolah daring adalah telpon genggam.
Dari kota hingga pelosok desa semua pelajar sepertinya memiliki telpon genggam. Hal ini membuat para orangtua kewalahan, belum lagi jika ekonomi sedang sulit-sulitnya diterpa pandemi,akan tetapi para orangtua dituntut untuk menyediakan kuota internet agar anak-anaknya bisa mengikuti daring.
Selain itu, para orangtua dituntut untuk tegas dalam mengatur penggunaan telpon genggam. Karena jika orangtua tidak disiplin kepada anak-anaknya dalam menggunakan telpon genggam dapat memicu anak-anak yang sudah merasa bosan untuk main game online.
Sekolah daring sebenarnya tidak semata-mata untuk kebaikan para pelajar,karena jika hanya ingin menghindari kerumunan justru dirumah mereka juga bermain tanpa masker dengan teman-temannya.
Lalu apa bedanya dengan sekolah tatap muka?
Selain itu sekolah daring juga memicu timbulnya rasa malas. Maka situasi ini digunakan sebaik-baiknya oleh kelompok KKM 69 Uniba untuk meningkat kembali semangat belajar pada anak-anak di Desa Sudamanik, Cimarga, Lebak - Banten. Dengan memberikan fasilitas belajar mengajar di posko dan penggalangan buku untuk meningkatkan minat baca anak-anak setempat.
Upaya ini dilakukan untuk mengembalikan kembali semangat belajar dan meningkatkan minat baca anak-anak di Desa Sudamanik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H