Tepat tiga tahun lalu, aku kehilangan lentera. Aku kehilangan arah. Begitu kagetnya aku atas apa yang terjadi kala itu. Tak sedikitpun air mata yang keluar dari pelupuk mataku, saat mendengar kabar tersebut.
Bahkan ketika akhirnya dia tiba dirumah, aku tak menyambutnya sama sekali. Aku tak ingin melihatnya. Aku mengunci diri dikamarku. Aku terlalu takut menemuinya. Aku takut menghadapi banyak orang dirumahku.
Aku marah.
Tapi tak jelas pada siapa.
Aku bingung harus menyalahkan siapa.
Sampai pukul dua pagi dini hari, aku memberanikan diri menemuinya. Aku mendekati pembaringannya. Aku menciumnya. Aku merasakan keningnya dingin membeku, kelu. Tak lagi sehangat beberapa jam lalu.
Seketika tangisku pecah. Aku berteriak sejadi-jadinya, menyentak semua orang yang tengah melantunkan surat yaasin.
Namun dia, tetap diam, berbaring dengan tenang. Tidak menghiraukan aku yang menangis dan memanggil-manggil dirinya.
Malam ini, aku kembali menangis.
Mengingat banyak hal tentang lenteraku yang hilang.
*Jakarta, 10 Februari 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H