Lihat ke Halaman Asli

Puisi | Rehal Gelandangan Virtual

Diperbarui: 17 Oktober 2018   18:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Pixabay

Aku tersengal di belantara linimasa. Mencari omong-omong yang tidak kosong, mencari kabar-kabar yang bukan bohong.

Seperti ketenangan dalam kepompong, meski rembulan membiarkan serigala melolong-lolong.

Terenyak aku di bawah pohon. Ketika burung hantu yang renta dan bijaksana menghitung sisa umur umat manusia.

Aku bersila di antara luminans jamur-jamur yang takzim mendengarkan khotbah berisi keluh kesah. Melawan serapah yang megah dalam balutan sastra komedi gelap kegemaran kucing hutan dan rakun-rakun yang suka sekali bercanda.

Mereka yang bernasib paling ngenas, akan tertawa paling keras. Aturan main tidak mengenal cemas pada rahang yang nyaris lepas.

Sini, aku sampaikan rahasia-rahasia yang tinggal sia-sia.

Orang-orang ingin kembali jadi gumpalan, daging dan tulang. 

Pada masa ketika ucapan memiliki kesempatan untuk ampunan. Pada zaman tanda-tanda Tuhan masih hidup di jalan-jalan, pasar-pasar, bahkan ruang-ruang perkantoran.

Dan, menjelang tengah malam, kita akan mendengar kunang-kunang yang terbang sambil berdendang. 

Kode-kode biner bukanlah dosa, selama belum bermukim dalam persepsi dan paradigma.

***

N. Setia Pertiwi
Cimahi, 16 Oktober 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline