Lihat ke Halaman Asli

Demi Bangsa yang Damai, Mari Bicarakan "Kafir" Sambil Bersantai

Diperbarui: 12 Oktober 2018   16:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Pixabay

Secara organik, manusia memiliki insting untuk menghindari atau melawan sesuatu yang terasa mengancam atau menimbulkan perasaan tidak nyaman. Ada kalanya, kita bahkan takut pada sesuatu yang asing dan belum kita kenali.

Beruntung, manusia dibekali akal sehat untuk mengalami proses berpikir dan mengendalikan diri. Kita punya kemampuan untuk meresapi, memahami, dan berupaya memaknai.

Katakanlah, kita cenderung diam dalam situasi yang aman dan homogen, seperti bersama teman dekat atau keluarga. Namun, di tengah-tengah lingkungan yang heterogen, kita membutuhkan kata-kata untuk menghindari timbulnya prasangka.

Hanya saja, kita tahu bahwa kata-kata juga dapat menjadi bahaya. Sementara dalam agama Islam, kami wajib menyelamatkan orang lain dari lisan dan tangan kami. 

Karena itulah, bukan hanya tentang kampanye, tapi demi bangsa dan bumi yang lebih damai, saya merasa bertanggung jawab untuk meluruskan satu istilah yang kata orang, telah mengusik ketentraman sosial.

Sebut saja, "kafir".

Berkat film dan sinetron, penyebutan "kafir" terasa begitu kasar dan tendensius. Sungguh muram dan membuatnya terasa kejam.

Tapi, benarkah seburuk itu? Bukankah kita sepakat bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala, Maha Pengasih dan Maha Penyayang, serta Islam merupakan rahmat bagi semesta alam?

Maka, agar kedamaian bangsa dapat tercapai dan tidak ada lagi yang bertikai, mari kita sama-sama memasuki jeda, lalu bersantai.

Izinkanlah, saya menyampaikannya dengan lugas, tanpa candaan yang sering kali menambah runyam karena perbedaan selera humor dan salah paham.

Bismillah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline