Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Daun Bawang dan Cinta yang Kurang Akal

Diperbarui: 11 Oktober 2018   22:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Pixabay

Menurutmu, apakah manusia dan daun bawang bisa saling jatuh cinta?

Aku menitipkan pertanyaan pada sepasang kaki yang kokoh, beralaskan sandal gunung, dan sedikit dikotori lumpur. Di sana, aku sematkan pula rasa yang terlalu janggal untuk bersuara.

Sudah dua minggu, aku dan dia berdampingan, namun terpisah oleh sekat kayu lapuk di Pasar Kinanti. Dia di kios buah-buahan, dan aku di kios sayuran. Hanya melalui celah berdimensi 30 sentimeter kali 15 sentimeter yang sejajar dengan pergelangan kaki, aku dapat mengetahui ada siapa saja di kios sebelah.

"Mak, Pak Engkos punya pegawai baru?" Aku bertanya pada Emak, ketika melihat sepasang kaki asing berseliweran di kios 11B.

"Oh, bukan pegawai. Itu anak sulung Pak Engkos dari Tasik. Baru datang bantu-bantu."

"Oh, Kang Rinaldi yang pernah Pak Engkos ceritain?"

"Iya, kamu belum ketemu? Kemarin dia ke sini, kenalan. Mungkin pas kamu lagi ke toilet. Ke sana, gih."

Aku menggeleng. Penasaran, sekaligus takut. Ada debar aneh ketika melihat kakinya yang cokelat muda. Lantas, bagaimana jika melihat wajahnya? Apakah aku akan pingsan saking tampannya? Atau, justru kecewa karena hidungnya berlubang tiga, misanya?

"Ganteng tidak, Mak?" Aku bertanya usil, namun diniatkan sepenuh hati.

"Hah?" Emak tertawa keras, mengacungkan jempol. "Hensem pisan!"

Aku bengong mengartikan reaksi Emak, ikut tertawa malu-malu. Biarlah. Aku lebih baik tidak tahu. Percikan rasa penasaran justru menghidupi hari-hariku yang mati bosan menjaga setumpuk sayuran. Setidaknya, aku jadi punya bahan baru untuk menggosip bersama wortel, kentang, dan kacang panjang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline