Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Badut yang Menangis di Bawah Hujan

Diperbarui: 8 Oktober 2018   17:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Pixabay

Gradasi warna nila, lembayung, dan jingga sudah tiba di langit. Bel sudah terdengar. Menjadi pertanda, sebentar lagi dia akan keluar gerbang. Gadis manis yang kutunggu, berkerudung putih, berseragam putih abu-abu, bermata sayu.

Ah! Itu dia. Tersenyum lebar, berjalan cepat ke arahku. Refleks, aku merapikan rambut sintetis warna pelangi yang bertengger seharian di kepalaku.

"Ning, kami pulang duluan, ya!" seru teman-temannya. Gadis bernama Hening itu mengangguk, melambaikan tangan. Langkah kakinya mendekat, menciptakan debar yang selalu membuatku rindu.

Aku merentangkan tangan, hendak menyambutnya dengan pelukan.

Hening hanya menggeleng, tersenyum. "Assalamu'alaikum," ujarnya. Tangannya menangkup di depan dada.

Tanganku yang merentang segera terkulai. Memasang raut sedih, ikut menangkupkan tangan di depan dada, lalu membungkuk. Setangkai mawar putih menyembul dari sela jari. Aku memegang pipi, menunjukkan ekspresi kaget yang dibuat-buat.

Bak pangeran kepada putri, aku berlutut, menyerahkan mawar itu padanya.

Dia tertawa, renyah. Gurat wajah Hening begitu indah. Dalam hati, aku rela mengorbankan apa saja demi menjaga senyum itu tetap merekah.

"Bisakah sekali-kali kau jawab salamku?" Hening bertanya.

Aku mengendikkan bahu, menggeleng. Berpantomim, mengunci mulut dengan tangan, lalu membuang kuncinya.

"Baiklah, terserah saja. Kau pasti sudah menjawab salamku dalam hati kan."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline